Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

"Tuang"

Pada secangkir kopi
Selalu tertuang puisi
Yang menyeduh bunyi
Jauh di kedalaman hati

Pernah dari bibir cangkir
Terlahir bayi cerita
     berdarah aksara sebesar nama
Tersembur bak air mancur
     berwajah subur selembab lumpur

Sesekali dari ruap kopi
Melayang spora peradaban
    bersayap kenyataan bertulang perubahan
Merebak ke seluruh sisi
    berwarna pelangi secerah matahari

Diam-diam ampas yang tersungkur di dasar cangkir
Bersujud menundukkan badan
Sembari menengadahkan tangan
Sekaligus merebahkan kehilangan

Cangkir yang tertinggal
Tak kan lekas tertanggal
Meski tamu barunya berhamburan
     Menuang dan mengulang
     Menyulang dan menyilang
Dengan segala kemungkinan

"Garis Edar"

Siang beranjak pergi
Mengemas senja di balik topi matahari
Meski wajahnya letih tapi
Terpancar rona berseri-seri

Malam membuka diri
Menggelar rapi selembar tikar sunyi
Agar langit lekas menyelimuti mimpi
Dan merangkul sembarang melodi tak bertepi

Diam-diam seperti mati
Terang-terangan tumbuh kembali

"Purnama dan Gerhana"

Purnama dan gerhana
Adalah dua museum purba
   yang duduk bersila di angkasa
     dan pintunya selalu terbuka
Untuk kita ziarahi
  atau
     ia bertandang sendiri
Terang-terangan atau diam-diam


"Belum Sempat"

Lebaran tahun ini
   datang terlalu dini
Karena belum sempat haturkan diri
   kepada malam yang diam-diam
     mengemas gelap ke dalam
   lengkung peci dan tasbih sunyi

Lebaran tahun ini
   datang terlalu pagi
Rasanya belum sempat tabur kasturi
   kepada senja yang tiba-tiba
     menyimpan gairah pagi ke dalam
   wadag parfum dan mekar bunga sekuntum

Lebaran tahun ini
   tiba begitu cepat
Sebab belum sempat pilih baju
   yang pernak-perniknya serba baru
   yang dipintal dari jerih berderu
     bagi tubuh rawan yang tiba-tiba
       menangkap isyarat tepi dengan
     daya purba dan gelombang citra 

Lebaran tahun ini
   muncul begitu singkat
Karena belum sempat pasang cermin
   pada kaki langit yang sengaja
     mengalirkan waktu ke dalam
   piringan bisu dan rekaman baru

Lebaran tahun ini
   melesat laksana kilat
Padahal belum sempat bubuhkan surat
   pada rahim putih yang bolak-balik
     menjejalkan janin sunyi ke dalam
   punggung panggung dan jantung zaman

Lebaran tahun ini
    meluncur begitu bebas
Padahal belum sempat pasang tali kekang
   pada selingkar badan yang rela
     mengikat angin liar di dalam
   kepingan darah dan rongga dada

Lebaran tahun ini
    tenggelam begitu dalam
Padahal belum sempat rayakan pesta
    pada relung kosong yang sedia
      mengisi toples hampa dengan   
    menu utama dan gemunung sisa
   
Lebaran tahun ini
   berangkat menjemput lebaran depan
Padahal belum sempat mandi kembang
   pada danau cahaya yang rela
      membasuh debu-karat yang          bertengger dan melekat dari
   ujung rambut hingga ujung kuku

Ah,
andai masih sempat...
 

"Meja Panjang"

Sudah sekian musim
kita tidak bermukim
Entah aku yang terlampau dingin
ataukah kau yang lupa arah angin

Jauh sebelum detik ini
     kita sama-sama melingkari hari
     yang terpaku di dinding rindu
Namun ketika masanya tiba
     kita tak abai memasang mata
     pada sudut lain sepanjang waktu

Meja panjang pun meradang berang
Empat kakinya legam terpanggang
Kursi di depannya meronta-ronta
Menyulap ruangan menjadi tungku menyala

Meja panjang menguap menjadi gundukan awan
    melayang-layang
       menggantung di langit kerinduan
Yang sewaktu-waktu menjelma hujan
    bila telah jenuh dengan kealpaan
       bagi kemarau yang dibentangkan

Meja panjang
  bisa seluas angan
  bisa sesempit pajangan
Seperti kita dan pendulum kenyataan

"Satu Tiga"

Bening gelas kaca di depan retinamu
   masih bisa kau tangkap sesukamu
   pun sebagaimana mestinya
Sementara titik yang segaris sudut matamu
   hanya bisa kau kira-kira
   pun belum tentu akan sama
Namun mutiara di belakang kepalamu
   Tiada sedikit pun terbaca
    terlebih jika tak ada cermin
    pun jika tak ada isyarat dari yang    lain

Ketiganya seperti satu;
bagi yang punya mata berbeda
bagi yang pura-pura buta
bagi yang hanya dengan sebelah terbuka
Juga bagi yang tengah didera cedera

"Jarak"

Jarak dua tiga bintang di angkasa
   masih dapat dibaca dan dikira-kira
   pun hanya terukur terhadap cahaya
Namun sejauh itu pun
   masih tak lebih jauh dari celah
   dua bibir yang mengatup-menganga
sepanjang masa

Jarak dua tiga zarah di sekitar kita
    masih bisa diziarahi dan diprediksi
    pun hanya tertentu dengan teorema, lensa, dan data
Namun sejauh itu pun
    masih tak lebih jauh dari jeda
    antara dua kepala yang terbuka dan bersenggama
sepanjang kala

Ia berkembang biak
Beranak pinak
Sepanjang nadi manusia

"Rembulan di Punggung Desa"

Senja kala di pematang sawah.
Mengintip dari balik ilalang.
Gadis desa pulang memikul galah.
Menghadap malam yang menghimpun remah.

Kilau cahaya menerpa telaga.
Terpental ke dalam gubuk tua.
Sehingga wajah desa tergambar segera.
Seperti jejak tinta sedemikian rupa.

Menjelang dini hari,
gardu di pinggir jalan bernyanyi.
Tua muda pria wanita berbagi hati,
merangkai sepi menjadi puisi.

Rembulan di punggung desa
merangkak memalingkan muka,
tenggelam ke dalam telaga cahaya.
Gairahnya menghangatkan keringat ikan dan terumbu karang.
Yang mengkristal menjadi darah, urat dan tulang.

Rembulan di punggung desa:
   selalu tabah memugar diri
   selalu tegar memikul matahari
   selalu tulus mengkremasi mimpi
Dan pagi pun lahir sebagai pagi
yang berdiri di atas kaki sendiri
selama rembulan melanjutkan semadi

Rembulan di punggung desa
muncul terbenam berbulan-bulan
Seperti pungguk merindukan bulan

"Poster Wajahmu"

Selintas pandang di seberang jalan
wajahmu masih terpasang.
Memancar sinar, mengundang.
Entah, sampai kapan mampu bertahan
menghuni papan tambatan
dalam kesendirian.

Menjelang tanggal;
aneka momentum bertandang
bayang panjang seliweran menjuru sarang
memburu bidak-bidak tunggal
agar geming tak kenal kata tertinggal.

Burung-burung berdendang.
Butir embun bergegas pulang
mengemas malam dalam kardus siang.
Hangatnya terngiang-ngiang.
Menyusup pori-pori, menyusun belulang.

Tanggal telah tanggal
gugur ke dalam pangkuan.
Wajahmu yang tipis ditarik-turunkan, oleh tangan kanan yang sedari awal memasang badan.
Tapi kemudian dijadikan lesehan pada sebuah ritual.

Sementara nun di seberang
kerlap-kerlip gelas perayaan bergoyang-goyang.
Tumpah-ruah menyesakkan jalan
hanya menyisakan istana keranjingan
dan aroma kerancuan.

Poster wajahmu memudar
bagaikan pupur yang luntur
karena mukamu hendak muncul
walau pernah sebeku kubangan lumpur

Poster yang lalu terharu-biru
Ketika terpasang lagi poster baru

"Yaaah, padahal tak lucu, cukup lah hanya aku..."

"Nisan Angka"

"Jangan pernah ragukan kami", tegas Angka di hadapan jutaan kepala.
Yang bergeming seperti sebuah arca.

Setelah kalimat terakhir ini,
angka-angka berlaku sebagai candu.
Memasuki jaringan tepi dan sum-sum mimpi.
Merasuki apa pun yang ia mau.

Angka telah berkuasa.
Hingga meracuni siapa saja
dengan sembarang cara.

Angka mengatur apa saja
bahkan mengukur siapa saja.
Dari yang terdalam hingga terluar.
Dari yang kasat mata hingga titik buta.
Dari yang dekat hingga jauh amat.

Angka-angka telah berkuasa.

Ia bercampur debu waktu.
Menempel tanpa ragu.
   Tak peduli belia maupun tua.
   Tak peduli pria maupun wanita.
Semua dilumuri dengan aromanya.

Sampai detik ini juga;
   Angka telah bernada.
   Angka telah memangsa.
Melenyapkan yang terlena.

"Kita lah Angka, sebelum ada yang lainnya"
"Andai saja ....."
lirih suara Angka ketika ajal menjemputnya.

"Tali Baru"

Tali di lingkar kepalamu
Terpaku bagaikan sebuah tugu
Yang termangu merapal waktu
Menunggu kafilah datang bertamu

Ia terikat
Begitu erat
Tapi tak menjerat

Puncaknya menyundul awan
Hingga menggundul langit berkabut
Lingkarnya mengitari titik rawan
Membentuk tarian ritmis paling lembut

Ia mengikat
Begitu hangat
Tapi tak menyengat

Sebelum petang tiba
     Ikat itu masih baru
Seperti sedia kala
     Entah bagaimana dengan kau

Sebelum pagi pergi
     Ikat itu tetap di situ
Seperti pertama kali
     Entah bagaimana dengan kau

"Surat dari Buku"

Salamku kepadamu.

Bagimu yang berbuku-buku
Bagimu yang mengeram sumbu
Bagimu yang memeram tabu
Bagimu yang mendekam kaku

Untukmu yang berpacu melepas beku
Untukmu yang sedang melawan bisu

Kepadamu yang menjadi dirimu
Kepadamu yang hanya untukmu

Hormatku kepadamu,
sebelum diriku, satu persatu
kembali bersatu
Menutup buku

Semoga engkau
tak seperti aku.

"Rumus Fi"

Bayangku berkubang
tergenang kenangan.
Padahal segenap badan
telah tumbuh dan berkembang.
Merayakan hari depan.

*

Tubuhku pongah
terpasung dinding berbayang-bayang.
Padahal seluruh jiwa
telah tegak berdiri dan kerap berlari.
Demi menghidupkan mimpi dan mengakarkan diri.

*

Namaku memiliki jantung.
Tergantung dari lakon ke lakon.
Bergelantungan dari titik ke titik, dari satu ufuk ke ufuk lain.
Padahal sepenuh hati
telah berjuang bagaimana semestinya.
Supaya menjadi seutuhnya.

*

Rumus Fi mencipta jalinan
bersilang dan bersalin
saling menentukan
saling menghidupkan.

"Catatan"

Catatan itu seperti terpahat sendiri
pada bahu waktu.
Meruang.
Meraung.
Mengungkap. Menangkap. Menganggap.
Mengurai dirinya sendiri.
Bagai seorang bayi merangkak. Duduk. Berdiri.
Melangkah. Berlari. Berhenti.

Catatan itu masih di sini
meski berulang kali
ada yang hidup dan mati.
Sampai nanti.

"Kantung Hujan"

Ternyata ada kantung hujan
di bawah rindang matamu.
Sepertinya cukup tuk mengguyur kemarau di hatimu.
Pun dapat menghanyutkan gemerlap taburan bunga di wajahmu.

Kantung hujan
masih mengandung
dan menggantung.
Menunggu kau.

"Malam-malam"

Malam ini tak seperti
malam sebelumnya.
Begitu cerah, begitu pasrah.

Malam ini tak serupa
malam sebelumnya.
Begitu tenang, begitu menang.

Malam ini tak senada
malam sebelumnya.
Begitu buas, begitu waswas.

Malam ini tak setara
malam sebelumnya.
Begitu halus, begitu mulus.

Malam ini tak setingkat
malam sebelumnya.
Begitu cepat, begitu singkat.

Malam ini tak selevel
malam sebelumnya.
Begitu sintal, begitu kental

Malam ini bermalam
pada kamar itu
yang siap-siap mengantarnya
bercumbu menjadi satu.

"Teror"

Teror mendekor ketakutan.
Menelurkan cemas.
Menetaskan ganas.
Menumbuhkan panas.
Diam-diam. Pelan-pelan.

Ia terlahir laksana bayi benalu
yang lupa siapa ibu dan ayahnya.
Ia dibesarkan oleh pengasuh,
   yang hanya kenal dirinya
   yang hanya kenal bajunya
   yang hanya kenal mainannya
   yang hanya kenal sudut kamarnya
   yang hanya kenal nganga rumahya.
Sehingga ia hanya mirip dengannya.

Orang di luar sana terlihat aneh baginya, bahkan tak senada
butir-butir yang dipangku kepalanya.
Ia buang herannya di kasur empuknya
Ingin sekali ia membangun kembarannya di mana-mana.
Hingga lelap datang memeluknya.

Saban hari ia merasa sendiri;
   berdua dengan pengasuhnya
   bertiga dengan benaknya
   berempat dengan kehendaknya
   bersama keterasingannya.
Bagaikan setangkai kembang di tengah padang.

Kembalinya dari hamparan lelap,
keningnya mengkerut jumud: kalap.
Tubuhnya tiba-tiba menimbun geranat
yang urat-uratnya menjulur
dari ujung kaki hingga ujung rambut;
yang sewaktu-waktu bisa menyala
menyanyikan diri, melenyapkan sepi.

Pagi-pagi buta ia beranjak pergi
tanpa bunyi sama sekali.
Ia rebahkan secarik kertas berisi
di atas jarum arloji berbentuk hati.

Ketika embun menguap sempurna,
pengasuhnya sibuk mencari-cari, air matanya berapi-api.
   Setiap celah terbuka dihampiri.
   Setiap ruang sempit dikuliti.
Tapi ia hanya mendapati luapan cemasnya sendiri.

Ia tidurkan mimpi gelapnya
di sofa empuk di depan layar kaca.
Dari balik sana angin berkelakar:
"Sebuah bom mengada-ada. Nyawa tercecer tanpa kata-kata. Kita harus waspada pada ...."
Seketika matanya kosong, batinnya bolong. Tak tertolong.

Teror pun merasa terhina
sebab namanya dibawa-bawa.
"Teror memang ada, tapi itu bukan dari kita", keluhnya.
Dalam upacara tabur bunga dan lebur doa.

"Langit Malam"

Awan-awan di langit malamku
berselimut kabut, abu-abu.
Meskipun begitu,
masih tak semeriah hamparan biru
di langit gundahku.

"Aku dan Rela"

Aku rela ditelan rindu.
Asal kau ada di situ.

Aku rela dihantam pelukan.
Asal kau jauh dari kecurigaan dan kebencian.

Aku rela diusung nasib.
Asal kau belum raib.

Aku rela dihunjam hasrat.
Asal kau peluk dalam nikmat.

Aku rela dijerat ragu.
Asal kau genggam erat aku.

Aku rela dicumbu candu.
Asal kau tiadakan aku.

Asal kau tahu.
Aku sedang yakinkan diriku.
Bahwa kau selalu tahu.


"Tanda Baca"

Aku merentangkan kalian
sampai titik tertentu.
Supaya mudah terbaca.
Supaya bisa mengenal rindu,
sebab tanpaku,
kalian hanyalah satu
yakni barisan bertumpu.

Aku seperti pembeda,
karena sejatinya tersusun
dari anasir yang tidak sama.
Hadirku bukan untuk meniadakan,
bukan pula untuk mengaburkan.
Namun sebagai pelita bagi kegelapan.

Aku adalah belantara tanda;
  yang dapat kauungkap
  yang dapat kautangkap
  yang dapat kauanggap.
Asalkan dirimu selalu terbuka
mendarasnya sepenuh yang kaupunya.

Sebagian kita menepuk dada
di atas mimbar cerita,
lantas berujar dengan sederhana:
   bahwa kisah akan dimulai
   bahwa kasih akan diakhiri
   bahwa rehat akan dihelat
   bahwa tamat akan disemat
   bahwa titah akan ditatah
   bahwa tuah akan diruah.
Dan segera bongkar-pasang muka
agar mudah terbaca sebagai semula.

Tanda baca bebas berkelana,
   entah terbaca atau tidak
   entah tertanda atau tidak.
Tapi ia tetap lah tanda baca
seperti kau dan dia.

"Ah"

Ah,
apa yang keluar dari diriku
adalah dunia kosong
sedang,
dunia yang bebas dariku
adalah wujud dunia hampa.

Di luar daripada keduanya
adalah dunia yang menyatu
di luar batasku.
dan,
sela antara keduanya adalah dunia yang sama sekali tak kujangkau

Ah ...

"Baju Baru"

Esok aku akan mengembara
ke bilik-bilik dadamu
sebelum meliuk-liuk
mengikuti lekuk tubuhmu
yang telah layu
ditinggal pergi
oleh sejumlah tamu.

Tepat di tanggal itu
kuharap umurmu belum tanggal
sebab akan kubawakan baju baru
buat menutupi nganga masa lalu
di sekujur tubuhmu.

"Ingat?"

Kekasih,
bukankah selalu ada Aku dalam pengakuan?
bukankah selalu ada Anda dalam pandang?
bukankah selalu ada Dia dalam diam?

Lalu,
kenapa kau meluapkan kealpaan?
Lalu,
kenapa mereka menapikan ketiadaan?
Lalu,
kenapa kita melupakan kehadiran?

Bukankah ...
Lalu ...
Berlalu ...
Ingat ....

"Kendali"

Barangkali suara yang sampai padamu kala itu
hanya kauanggap angin lalu.
Sebab kau lebih memilih api
meski kelak pasti membakar tuannya sendiri.

Padahal akan jauh lebih berseri,
jauh lebih syahdu.
Menangkap isyarat sanubari,
yang sungguh mampu
mengungkap berjuta-juta misteri.

Tapi,
pilihanmu mesti kuhargai,
mesti kupayungi.
Karena kau jauh lebih mengerti
betapa rawannya lepas kendali,
betapa gawatnya mati tanpa arti.

"Pahitmu: Aku"

Mari seduh duniamu,
racik di ceruk batinmu;
tuangkan pelan-pelan kristal jiwamu,
tambahkan bubuk nalurimu,
lumuri dengan sebagian samudera sukmamu.

Lalu,
hirup dalam-dalam dengan karsamu.
Cecap dengan ujung karyamu.
Teguk hingga ke dalam palungmu.

Akhirnya,
pekatmu adalah satu,
hitammu adalah rindu,
dan,
pahitmu adalah aku.

"Sandaran"

Entah kenapa kau tiba-tiba
ingin bersandar pada senja
yang muncul sekejap mata
Padahal bahuku terus terbuka
untuk kausinggahi kapan saja

Bukannya aku cemburu, kekasih
Tapi nadiku berdegup malu-malu
menunggu kaucumbu
karena sudah tak terhitung
berapa kali siang-petang muncul-tenggelam berulang-ulang

Asal kautahu
bahuku seperti dulu
meski tahu akhirnya layu

"Mata, Tuan dan Puan"

Ada tuan-tuan bermain mata
Ada mata-mata bermain tuan
Ada puan memindah tuan
Ada tuan mengindah puan

Mataku hilang tuanku datang
Tuanku pulang mataku hilang
Tuanku garang memata-mataiku
Mataku girang menuan-nuankanku

Tuan menjadi teman mataku
Mata menjadi teman tuanku
Mata tuan merubah temanku
Teman tuan menabuh mataku

Namun tanpa mereka
mata-mata kekurangan mata
tuan-tuan kehilangan tuan
puan-puan kepunahan puan

Sedang dari sini,
mereka adalah seri
titik-titik seperti rasi

"Jangkrik"

Suaramu kala itu
tak semerdu nyanyian jangkrik
di balik panggung sunyi
yang pernah membasuh keruhku
kembali murni

Tapi, suaramu tetap lah bunyi
yang pernah mendiami gendangku
yang sewaktu-waktu dapat kuulangi
terlebih lagi ketika ganjil dan sanksi

"Nasib Viral"

Nasib di antara dua dunia.

Belakangan, si viral mendulang tenar.
Gaungnya hendak melangkahi semar.
Walaupun terdengar samar-samar,
namun berlapis-lapis pula yang gemar.

Aneh. Tapi lumrah.

Hampir setiap saat,
Ia melompat secepat kilat
jungkir balik bolak-balik.
Lagi dan lagi.
Seakan dunia kian menyempit.
Seakan tuannya turut terbalik.

Berlabuh jauh. Teramat jauh.
Menatap diri.

Ia pun terheran-heran.
Padahal ia tak pernah turun tangan
apalagi memainkan peran.
Tetapi namanya terus terombang-ambing dalam ingatan.
Bagaikan perahu di tengah tarian lautan.

Terkatung renung.
Mematung.
Dari petang ke petang.

kini, ia merasa sendiri
setelah dikloning tiada henti
Tetapi tak satupun mau peduli
Sebab jemari jauh lebih berfungsi
ketimbang bening akal budi
dan terang sanubari

Akhirnya...

Nun jauh di lubuk hati
Ia mengundurkan diri
Berdialog dengan diri
Meraih jawaban sendiri
Sebelum akhirnya dijemput mati

Pada nisannya,
tertuang aksara sepi, berbunyi:
"Aku hanya mati suri"

"Panggilan"

Suara panggilan datang.
Separuh bulan memandang,
dan awan riang mengundang.
Menggiring dekapan memasuki gerbang.
Pulang ke dalam pelukan.

"Bara dan Kapas"

Berkepal-kepal kapas jingga di langit
Tak sepadan senja di langit-langit
kalbumu, kekasih
Tetapi segumpal debu di gurun
batinmu
Selaksa bara yang berapi-api
Tiada sepi, tiada tepi

"Kandung"

Kau ibarat mendung.
Terbendung.
Mengandung.
Berduyung-duyung.
Menimang indung.
Meminang tudung.

"Garis Hidup"

Di hadapan buku
    Kita hanya bisa berkubu
Di depan yang baku
    Kita hanya bisa mendaku

Di dalam tubuh bambu
    Kita hanya lapis berbuku
Di tengah ladang rambu
    Kita hanya baris bersumbu

Di urutan daftar laku
    Kita hanya lembar berlaku
Di antara jalur laku
    Kita hanya penumpang laju

Akhirnya terhambur
Terkubur berkabur baur
lantas lebur

"Laku"

Bila laku
sebagai muara lakumu
Maka kau kan meramu
Keras tebu bertabur tabu
atau,
Pahit tabu berpupur tebu

Tentunya,
hanya kau yang berlaku
hanya laku yang berlalu

"Tinta tentang Kita"

Satu hal perlu kauingat
Pagi sudah lewat untuk tinta mendekat,
pun berkarat dalam lekat

Maka kita harus bergegas
mengejar langkahnya
Sebelum tergilas habis
oleh sapuan masa

"Selapang Dada"

Dada,
tak sekedar berongga
Segalanya tercermin darinya
Kadang merupa gulita
Kadang pula meraga pelita

"Cerita Basah"

Di antara awan yang bergumul
dan angin yang menggiring judul
Aku muncul sebagai teduh
Bagi hamparan tandus yang haus peluh

Dengan rendah hati
kuceritakan seberkas mimpi
untuk sebagian penghuni
Melalui pawai pelangi
meski tak abadi

"Jumat Agung"

Ketika hari yang agung
datang berkunjung
Kuharap bisa menyelam ke dalam terang
bahkan tenggelam, jauh lebih dalam

"Petualangan Malam"

Sepotong rembulan
merangkak perlahan, bertualang merenungkan jejak malam
Sebelum tapak terang
datang bertandang

"Malam Pengantin"

Sayap-sayap jiwaku
meruntut lekuk tubuhmu
yang pernah kucumbu
Di bawah kubah malam
seribu bulan

"Enigma"

Aku teka-teki
Kau misteri
Namun kita adalah sandi
Pembentuk mata rantai
Yang terhubung oleh sendi-sendi

"Purnama"

Tepat di atas kening
Purnama bergeming
Menghimpun kenang
Ke dalam sarang

"Nyala Puisi"

Mari nyalakan puisi
Sebagai lentera bunyi
Serupa matahari

"Suara Pinggiran"

Dari ruang sempit
Berbentuk segi empat
Kudengar suara-suara tersekat, berat.
Suara luka kebencian
Suara duka ketimpangan
Suara lara kebodohan
Suara lega keangkuhan
Suara tega penindasan

Sepi. Tegang-renggang
Beresonansi.
Berdengung terngiang.

Datang.

Suara getir kemalangan
Suara getar kekuasaan
Suara sayu kepura-puraan
Suara pilu kerakusan
Suara palu perselingkuhan
Suara saru penggusuran

Hilang. Datar-tegar.
Bergelombang.
Berdendang terbang

Entah suara apa lagi
Harus kuakui
Tak semua mampu kukenali

Ketika bait ini kurangkai
Suara itu belum berhenti
Terbungkus rapi

Pergi.

Tiada bunyi.
Sunyi.


"Sang Pena"

Aku adalah sang pena
Tintaku seluas samudera

Dari hari ke hari
Setitik sepintas lintas
Menetes. Menetas bayi dunia
Meretas nyata, membingkai
Seperti dirinya

Dalam rahim masa
Ia diasuh diasih diasah
Hingga tumbuh dewasa, menua
Menjadi cakrawala.

Aku adalah sang pena
Titik di mana asal bermula
Puncak segala usul bermuara

"Hujan Hatiku"

Hujan terjatuh
Rindu berlabuh

Tanah bersimpuh
Dada berteduh

Pelangi bersimfoni
Harmoni bersemi

Pelita melingkupi
Hati melengkapi

"Kau dan Lumpur"

Suara burung itu membawaku
Pada raut wajahmu
Yang dirias lumpur
Ketika senyummu lebur
Bersama benih subur
yang kau kubur

"Paru-paru pagi"

Paru-paru pagi
Kembang kempis
Selaras seirama
Melambungkan mimpi-mimpi
Para penghuni bumi

Paru-paru pagi
Berdenyut seperti nadi
Hampir setiap hari

"Hadir"

Ketika bersamaku
Jangan sekali-kali
Mencari di luar diriku
Sebab bagiku
Hadirmu adalah kulminasi
Seperti angka satu

"Hanya ingin..."

Entah kenapa aku hanya ingin bertemu
Sekadar sambung ragu agar beregu
Sekadar sambang rindu agar berpadu
Daripada sumbang jemu
Tapi tak kunjung kau jamu

Padahal hanya ingin bertemu
Hanya ingin
Hanya ingin
Kau

"Rindu Yang Pulang"

Sudah larut malam
Saatnya rindu pulang
Memangkas jarak yang terbentang
Menjadi sebuah kealpaan

Tumpukan Terakhir

Hidup di atas kasur plastik sisa pesta keluarga mapan adalah hal biasa bagiku. Hidup sebatang kara di tengah rerimbun sampah sudah bukan hal yang asing bagi diriku. Aku yang telah terbiasa mengais botol, kertas dan remah-remah yang menumpuk di belakang rumah plat merah itu untuk menukarkannya dengan sebotol air dan sebungkus nasi. Selebihnya saya peroleh dengan mengambil bekas makan orang-orang yang ditinggalkan di atas meja kedai pojok. 

Menjelang fajar, saya berangkat hanya bermodalkan goni sebagai wadah penampung harapan yang tercecer. Sebatang kayu untuk mmbolak-balikkan tumpukan yang menggunung. Botol plasik, botol kaca dan gelas plastik saya pilih yang belum terkoyak lalu kuendapkapkn pada dasar goni. Di baqah terik mentari yang menyengat keringatku bercucuran menetes pelahan bercampur nyanyian perut yang memekik keheningan.

Saya bukan satu-satunya anak yang mengorek tumpukan itu. Jumlah kami memang tak sebanyak gunung yang ditimbun orang-orang kota setiap pagi dan sore hari. Mulai dari anak kecil sampai tua renta baik pria maupun wanita mengendap melebur sampai tak bisa dikenali. Walau baunya menusuk hidung menghujam saraf tapi tidak ada yang bernjak menjauhi tempat iru kecuali goni mereka sudah penuh. Begitu terus dari hari ke hari.


bersambung....

"Dunia Mimpi"

Ketika terbangun
Sebagian hidupku tersingkir
Oleh dekapan mimpi
Yang tertinggal di balik bantal

Padahal Ingin kuulangi
Bagian per bagian yang kukehendaki
Namun memori bagai terkunci
Menolak untuk kembali

Entah,
   Memoriku yang tak kuasa
   Mengangkat tanda-tanda
Ataukah,
   Ingatanku memang sengaja
   Menyimpan milyaran bahasa

Ketika aku kembali
   Duniaku telah lari
   Mimpiku telah rapi
Dibungkus sunyi

"Menghadap Kopi"

Bila kopinya datang
Jangan lupa haturkan kalam
Agar pahitnya tenang
Memelukmu dari dalam

Ketika kopinya tandas
Sebelum bergegas
Jangan lupa haturkan pesan
Sebentuk pujian
Kepada pemilik kenikmatan

Sampai jumpa lagi...

"Terbawa Mimpi"

Baru kusadari
Setelah sekian kali mentari menepi
Hati ini masih sepi
Lenyap terbawa mimpi

"Segera"

Asal kau tahu
Awan di langit dadaku bergemuruh
Berkilat petir, menyambar
Ujung mahkotamu yang ragu
Akan kedatanganku

Bergegaslah buka jendelamu
Sebelum semuanya berlalu

"Warta Alam"

Air
Api
Angin
Tebing
Gelombang, dan
Gejala alam tak selalu terkendali
Bergerak dengan bahasanya sendiri
Mencari keseimbangan diri

"Suatu Malam.."

Bagaimana mungkin
Mengutuk malam yang diam-diam
Merapikan kenangan
Pada kantung-kantung ingatan

Bagaimana mungkin
Menghujat malam yang diam-diam
Membasuh keletihan
Pada tikar keterlelapan

Iya, bagaimana mungkin
Mengumpat malam yang diam-diam
Menata kekhusukan
Pada alas penghambaan

Dan, bagaimana mungkin
Menghina malam yang diam-diam
Mengatur kesungguhan
Para penghuni dan pegiat malam

Suatu malam
Dalam diam
Sebelum terbenam

"Konser Hujan"

Rintik hujan mengetuk atap
Melantunkan bait-bait hangat
Bagai orkestra bunyi
Pada panggung harmoni

Rintik hujan itu
Terjatuh lalu Berlabuh
dari hulu ke hilir
Menghantarkan pesan tersembunyi
Ketika kita asyik menikmati
Meresapi dengan segenap hati

"Hujan dan Rindu"

Hujan menimang rindu
Rindu meminang waktu
Keduanya menyatu
Menjadi kamu

Itulah yang kutahu

"Ritual Kopi"

Kopi tak peduli pada tamu yang menghampiri
Entah sekedar dinikmati
Dihindari maupun dijiwai
Sebab Ia telah merelakan diri
Dalam sebuah meditasi

Ia tak pernah mencaci maki
Menikam sesuka hati
Apalagi memuja diri
Sebab sunyi dan mencecapi adalah ritual suci
Yang tak pantas 'tuk dikotori

Tapi kopi sadar diri
Betapa segala bisa terjadi
Di kemudian hari


"Ah, Ternyata"

Ternyata
Rembulan punya sisi gelap
Yang berlindung
Di balik gemilang cahaya

Dan ternyata
Awan berwajah muram
Menimang kesuburan
Dalam rahim hujan

Ah, ternyata
Sisi mengemban isi
Isi mendekap sisi
Ah, ternyata
Keduanya laksana teka-teki

"Romantika Pekat"

Tempelkan bibirmu
   Pada bibirku
Kemudian
Tinggalkan jejakku
   Pada hatimu
Agar kau tahu
Betapa dalamnya diriku

Rekatkan hasratmu
   Pada pahitku
Kemudian
Derapkan tekadmu
   Pada pekatku
Agar kau mengerti
Betapa indahnya menjadi murni

Romantika pekat
Terlarut
Dalam hakikat

"Museum Tua"

Museum tua
Di sudut desa
Membeku
Menanti dikubur waktu

"Mengejar Angka"

Dunia terbagi ke dalam angka

Angka-angka menjadi rebutan
Merasuki kehidupan sang aktor utama: manusia
Angka telah berkuasa
Berhasil meracuni aktor utama
Dengan berbagai cara

Angka mengatur apa saja
Bahkan mengukur siapa saja

Dari yang terdalam hingga terluar
   Tak lepas dari persoalan angka
Dari yang tampak hingga yang metafisik
   Tak terabaikan oleh angka
Dari yang terdekat hingga terjauh
   Tak bebas dari kacamata angka

Angka-angka telah berkuasa

Lalu bercampur debu waktu
Menempel tanpa ragu
Tak peduli belia maupun tua
Tak peduli pria maupun wanita
Semua dilumuri dengan angka

Sampai detik ini juga
   Angka telah bernada
   Angka telah memangsa
Melenyapkan yang terlena


Amri dan Shollina, 2017

"Beranda Kita"

Di balik tenangnya kopi
Tertulis kisah terperi
   Tentang rasa yang dijaga
   Tentang janji yang dibina
   Tentang makna yang ditata
   Tentang citra yang diungkap indera
Hingga terbaring di dasar rasa

Akhirnya kita menjauhi beranda
Dengan warna yang terlukis di dada
Dan corak yang terpola di kepala
Entah bagaimana selanjutnya

Ingatlah! kawan
Beranda ini jadi saksi
Akan semua yang terjadi

"Gus Dur dan Seorang Pengembara"

Kala hari sedang terik
Seorang pengembara bernyanyi asyik
Berarak epik bernada apik

Di tengah rimba dia berjumpa gus dur:
Hai kisanak!
Hendak ke manakah paduka beranjak?
Pakaianmu kumal tak seperti artis terkenal
Wajahmu asing bagai turis keliling
Bawaanmu sedikit seperti orang pelit
Persis nasib rakyat yang terjepit
Oleh harga yang melangit
Atau
kau memang sengaja
tidak mau terlena

Apakah kau seorang pengelana?
Sepertinya jejakmu ada di mana-mana
Namun namamu sunyi dari berita
Rupanya kau tak peduli citra
Padahal banyak yang mencarinya
Entah jiwamu seperti apa
Tapi lihat pakaianmu cukup menutup raga

Wahai tuan
Apakah kau tidak punya jawaban
Atas sekian pertanyaan yang kuhaturkan?

Kenapa kau irit bicara?
Padahal lidah bisa menjadi senjata
Padahal dengan sepatah kata, dunia bisa goyah: pun patah
Padahal dengan setumpuk cerita   belantara kepala di bawah kuasa
Padahal sekedar bersumpah
mampu merubah sejarah
Padahal hanya bergirang kalimat
kita dapat bersekat-sekat: pun saling sikat
Padahal diam tak cukup heroik
Membalik kelam jadi lebih baik

Bagaimana kau menjawab?
Sedang kau enggan berucap
Jangan-jangan kau takut dibekap
Jangan-jangan kau....

Gus Dur membuka mulut
Lantas menimpali dengan lembut:
Gitu aja kok repot

Duh... bagaimana tidak repot?
Sementara Saudaraku semakin geliat
Mencicip yang bukan miliknya
meski tertutup sangat rapat
Kerabatku merasa dialah segalanya
Di luar porosnya harus mengitarinya
Tetanggaku memintal berlaksa-laksa siasat
Supaya yang lain turut tersesat
Kerabatku pasrah menerka anugerah
Padahal ajal seluas sepetak tanah

Duh... bagaimana tidak repot?
Saat lapar dan dahaga meronta-ronta
Angin sebelumnya rela malah berubah tega
Saat hasrat datang menggoda
Badai ingin sekuat putaran angin
Saat ruang diukur dengan uang
Topan ganas setajam kerikil cadas
Saat sudut sempit dibuat terjepit
Udara bebas sesulit menarik napas

Gus dur hanya melempar senyum simpul
Kemudian membalas dengan simpel:
Gitu aja kok repot

Sepertinya kau sedang dahaga
Mungkin kau lapar juga
Nikmati sajian yang ada di sana
Jangan lupa bersyukur dan berdoa

"Duh Gus, kok repot-repot"
Lengking suaranya bergeming lembut
Namun badannya melesat cepat

Gus dur tiba-tiba berkata:
"Kalau kau sibuk, kapan kau sempat
Kau ini bagaimana atau aku yang harus bagaimana"
Dawuh gus mus dalam sajaknya

Diam-diam gus dur tersenyum
Dengan wajah bercahaya