Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

"Purnama dan Gerhana"

Purnama dan gerhana
Adalah dua museum purba
   yang duduk bersila di angkasa
     dan pintunya selalu terbuka
Untuk kita ziarahi
  atau
     ia bertandang sendiri
Terang-terangan atau diam-diam


"Belum Sempat"

Lebaran tahun ini
   datang terlalu dini
Karena belum sempat haturkan diri
   kepada malam yang diam-diam
     mengemas gelap ke dalam
   lengkung peci dan tasbih sunyi

Lebaran tahun ini
   datang terlalu pagi
Rasanya belum sempat tabur kasturi
   kepada senja yang tiba-tiba
     menyimpan gairah pagi ke dalam
   wadag parfum dan mekar bunga sekuntum

Lebaran tahun ini
   tiba begitu cepat
Sebab belum sempat pilih baju
   yang pernak-perniknya serba baru
   yang dipintal dari jerih berderu
     bagi tubuh rawan yang tiba-tiba
       menangkap isyarat tepi dengan
     daya purba dan gelombang citra 

Lebaran tahun ini
   muncul begitu singkat
Karena belum sempat pasang cermin
   pada kaki langit yang sengaja
     mengalirkan waktu ke dalam
   piringan bisu dan rekaman baru

Lebaran tahun ini
   melesat laksana kilat
Padahal belum sempat bubuhkan surat
   pada rahim putih yang bolak-balik
     menjejalkan janin sunyi ke dalam
   punggung panggung dan jantung zaman

Lebaran tahun ini
    meluncur begitu bebas
Padahal belum sempat pasang tali kekang
   pada selingkar badan yang rela
     mengikat angin liar di dalam
   kepingan darah dan rongga dada

Lebaran tahun ini
    tenggelam begitu dalam
Padahal belum sempat rayakan pesta
    pada relung kosong yang sedia
      mengisi toples hampa dengan   
    menu utama dan gemunung sisa
   
Lebaran tahun ini
   berangkat menjemput lebaran depan
Padahal belum sempat mandi kembang
   pada danau cahaya yang rela
      membasuh debu-karat yang          bertengger dan melekat dari
   ujung rambut hingga ujung kuku

Ah,
andai masih sempat...
 

"Meja Panjang"

Sudah sekian musim
kita tidak bermukim
Entah aku yang terlampau dingin
ataukah kau yang lupa arah angin

Jauh sebelum detik ini
     kita sama-sama melingkari hari
     yang terpaku di dinding rindu
Namun ketika masanya tiba
     kita tak abai memasang mata
     pada sudut lain sepanjang waktu

Meja panjang pun meradang berang
Empat kakinya legam terpanggang
Kursi di depannya meronta-ronta
Menyulap ruangan menjadi tungku menyala

Meja panjang menguap menjadi gundukan awan
    melayang-layang
       menggantung di langit kerinduan
Yang sewaktu-waktu menjelma hujan
    bila telah jenuh dengan kealpaan
       bagi kemarau yang dibentangkan

Meja panjang
  bisa seluas angan
  bisa sesempit pajangan
Seperti kita dan pendulum kenyataan

"Satu Tiga"

Bening gelas kaca di depan retinamu
   masih bisa kau tangkap sesukamu
   pun sebagaimana mestinya
Sementara titik yang segaris sudut matamu
   hanya bisa kau kira-kira
   pun belum tentu akan sama
Namun mutiara di belakang kepalamu
   Tiada sedikit pun terbaca
    terlebih jika tak ada cermin
    pun jika tak ada isyarat dari yang    lain

Ketiganya seperti satu;
bagi yang punya mata berbeda
bagi yang pura-pura buta
bagi yang hanya dengan sebelah terbuka
Juga bagi yang tengah didera cedera

"Jarak"

Jarak dua tiga bintang di angkasa
   masih dapat dibaca dan dikira-kira
   pun hanya terukur terhadap cahaya
Namun sejauh itu pun
   masih tak lebih jauh dari celah
   dua bibir yang mengatup-menganga
sepanjang masa

Jarak dua tiga zarah di sekitar kita
    masih bisa diziarahi dan diprediksi
    pun hanya tertentu dengan teorema, lensa, dan data
Namun sejauh itu pun
    masih tak lebih jauh dari jeda
    antara dua kepala yang terbuka dan bersenggama
sepanjang kala

Ia berkembang biak
Beranak pinak
Sepanjang nadi manusia

"Rembulan di Punggung Desa"

Senja kala di pematang sawah.
Mengintip dari balik ilalang.
Gadis desa pulang memikul galah.
Menghadap malam yang menghimpun remah.

Kilau cahaya menerpa telaga.
Terpental ke dalam gubuk tua.
Sehingga wajah desa tergambar segera.
Seperti jejak tinta sedemikian rupa.

Menjelang dini hari,
gardu di pinggir jalan bernyanyi.
Tua muda pria wanita berbagi hati,
merangkai sepi menjadi puisi.

Rembulan di punggung desa
merangkak memalingkan muka,
tenggelam ke dalam telaga cahaya.
Gairahnya menghangatkan keringat ikan dan terumbu karang.
Yang mengkristal menjadi darah, urat dan tulang.

Rembulan di punggung desa:
   selalu tabah memugar diri
   selalu tegar memikul matahari
   selalu tulus mengkremasi mimpi
Dan pagi pun lahir sebagai pagi
yang berdiri di atas kaki sendiri
selama rembulan melanjutkan semadi

Rembulan di punggung desa
muncul terbenam berbulan-bulan
Seperti pungguk merindukan bulan