Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

"Sepasang Sepatu"

Ikatan antara Aku dan Kau
bagai sepasang sepatu
Tak sama namun serupa
Selalu beriringan meski tak bergandengan
Kiri dan kanan tak saling meniadakan

Ketika langkah kaki menapaki bumi
Menelusuri arah yang pasti
Kita selalu bergerak silih berganti

Kau dan aku pernah terpisah
Oleh rindu dan cemburu
Kala itu kau terlempar
Berjarak karena biak berarak

Ku mencarimu di setiap sudut
Ke balik padang yang tak tembus pandang
Ke ujung tebing yang mendulang hening
Ke dalam pelukan parit-parit sempit

Ketika waktu rela menunggu
Bersimbah ragu dalam sebuah regu
Saat itulah putus asaku merayu
Tetapi kuyakin pasti kan bertemu

Sekian lama kucari akhirnya bertatap jua
Sementara rintik hujan tak kunjung reda
Namun hadirmu laksana lingkar warna
Ketika pelangi datang merubah suasana

Kau sedialah di sisiku
Sebagai cahaya bagi gelapnya malammu

Aku adalah ruas lain bagimu
Seperti ketika cermin ada di hadapanku
Kau sebagai bayangnya
Sedang aku menjadi bendanya

Dan akhirnya akan menyatu
Dalam satu waktu

"Di Penghujung Waktu"

Entah sudah berapa lama waktu berlalu
Semenjak berjumpa kala itu
Puncak semeru menjadi saksi bisu
Akan janji setia untuk bersama selalu

Desas desus terselip di antara perdu
Ketika padang ilalang bergerak tak menentu
Sedang rumbai pagi masih menunggu
Di sepanjang tepi sunyi sebuah ranu

Tatkala burung-burung berkicau
Desau angin berkabar pedih nan sendu
Saat itulah ragu beradu
Mengetuk segenap relung yang pilu

Nun jauh di dalam taman impian
Kupu-kupu elok nan menawan
Serupa pelangi kala air dan sinar tengah berpelukan
Yang menoreh keindahan dan harapan

Ketika detak jam terhitung hari
janur dan selaksa mata akan bersaksi  bahwa ikrar dan lingkar di jari sebagai tali suci
Bagi dua insan tuk menjalani sepenuh hati
Menghimpun masa lalu, kini dan esok hari

Di penghujung waktu keduanya telah bersama
Sembilan dan dua belas sebagai bingkainya
Berkelana di rimba dunia yang hanya sementara
Untuk dapat hidup bahagia dan bergelimang sayang, juga sejahtera
Demi merengkuh nikmat dan ridho yang mahakuasa

Ya Robbi
Hanya kepadaMu kami kembali

"Rumah Sementara"

Kucari diary yang telah lama terbaring di lemari
Saban halaman kubuka perlahan
Bagai menimang-nimang seorang bayi:

Jauh di dalam sana, selaksa mimpi
Yang telah dan akan kugapai
Terukir indah nan rapi

Ruas jariku bergerak lembut
Dari satu huruf ke huruf
Melompat dari kalimat ke paragraf
Spasi dan bunyi kurekam dalam-dalam
Hingga jiwaku terbang di antara angan-angan dan kenyataan

Sampai ku berhenti
Tepat di halaman dua puluh empat
Di mana terpaut janji suci
Janji untuk sehidup semati

Tiada kusangka itulah hari ini
Hari yang telah lama dinanti-nanti:

Bagiku altar sudah terlampau sunyi
Ketika kami duduk bersebelahan
Sedang ayat suci sedang dilantunkan
Sebagai cahaya di lembar penyatuan

Kala sebuah cincin melingkar di jari
Tak terasa air mata membasahi pipi
Sementara saban mata yang ada Masih merekam dari segala sisi

Suara-suara telah seirama:
Halal, halal, halal
Berselang bunyi dengan nada berbeda:
Sah, sah, sah

Awal dan akhir dari mimpi-mimpi
Bergerak dari titik ini
Mimpi berpendar dari dunia imajinasi
Balik ke alam nyata yang hendak dibangun kembali

Detik demi detik akan disusuri
Kadang kala badai menyusup melalui ventilasi
Mengusik seluruh isi
Menerpa semua sisi
Tiang dan panji direngkuh sepenuh hati

Namun kala angin sepoi-sepoi menyelimuti
Teguh berdirilah dalam menghadapi
Sebab boleh jadi terselip cobaan
Terukir pesan-pesan yang hendak disampaikan

Hari berganti hari kan dilalui
Bersama-sama meniti langkah
Berharap sakinah dan mawaddah juga warahmah
Dari Tuhan mahapenyayang lagi pemurah

Masa ke masa silih berganti
Di bawah atap sunnah berdinding ibadah
Berharap berkah penuh hikmah
Walau hati dan laku berpindah-pindah
Hingga jiwa dan raga berpisah terbaring lemah berkalang tanah

Ya ilaihi rabbi
Hanya kepadaMu kami kembali

"Dari Hulu ke Hilir"

Tengah malam menjelang fajar
Kaum bersarung datang berduyun-duyun
Menanggalkan kemul berbalik arah menuju surau
Surau sederhana bergaya lama
Di sanalah mereka berkumpul begitu lama

Lama menimba ilmu dengan bercengkrama bersama
Bersama-sama menangkap suara
Suara hati dan ilmu sang kyai
Kyai yang meneruskan ajaran nabi
Nabi terakhir yang kita teladani

Wajahnya berseri-seri
Seperti bunga di musim semi
Tidak seperti kami yang hanya terberi
Oleh ingin yang memoles diri dengan warna warni

Kami hanyalah kaum yang pandai mengaku
Merasa Dekat dengan sang kekasih hati
Yakni manusia biasa yang memang benar-benar manusia seperti kami
Ketika dihitung masa, dirunut sanad engkau terlampau jauh dari kami

Di sisi lain kami laksana ranting ke sekian
Dari selaksa cabang yang merenggang meninggalkan batang
Dari terusan yang mengalir dari hulu ke hilir
Di tengah perjalanan berbaur dengan batuan, limbah dan lumpur

Kami latah bersumpah atas nama ajaran yang kau bawa
Lantaran sebagian kitab telah kami baca
Karena rasanya semua ibadah sudah terlaksana
Sebab sepertinya kami di jalan yang sama

O sang pelita
Kaulah cahaya sehangat purnama

Kami begitu bangga akan pesona dunia
Merasa bangga selama berkuasa
Merasa mulia ketika dipuja
Merasa hina jika tidak punya apa-apa
Merasa hebat walau sedang tersesat
Merasa hidup selamanya padahal sedang lupa

O baginda shalawat serta salam bagimu
Kami sungguh merindukanmu

Engkau panutan, sementara kami sekedar simpatisan
Engkau panduan, sedang kami hanyalah partisipan
Engkau lentera, namun kami cuma pembias cahaya
Engkau memanusiakan manusia, tetapi kami menistakan sesama

Ya kekasih Allah
Akhlakmu luhur ketimbang sekian jiwa yang terlahir

Akankah syafaatmu menyertai kami?

"Simfoni Pagi"

Kali ini kubicara melalui butir embun
yang melingkar di daun
Yang membeku bersama sunyinya malam

Di panggung yang sepi
Ayam-ayam mulai bernyanyi
Bagai simfoni di persimpangan malam dan pagi

Sementara lantunan jangkrik di semak belukar
Bergetar-getar bagaikan tarian senar gitar

Mereka berjumpa di badan suara
Kemudian menyulam irama jagat raya

O talas yang tak tersentuh basah
Lihatlah mutiara pagi mulai berseri
Tatkala bening berpendar
Lalu menyentuh jiwa yang keruh
Komposisi terus berganti
Hingga keduanya kembali

O rumput yang bermain bersama serangga
Menari-nari ala pesta dansa
Dengan tegar melepas nafas segar
Sementara di belakang sana
Asap mengepul tiada terkira

Pipa-pipa sedang berdendang:
Paru-paru hutan tinggal separuh
U lea u lei o le
Separuh lagi sudah ditaruh
U lei u lea u le

O kumbang yang bertandang meninggalkan sarang
Menuju istana utama: mahkota bunga
Dengan riang penuh suka cita
Sari-sari kini bertaruh di ujung paruh
Mencecap manis terkuras abis

Butir-butir gula bagai paduan suara:
Manismu tak semanis tebu
E ule lei u Leo
Habis sudah sepah jadi sampah
E lea ule a leu

Mentari hanya tersenyum lebar
Sedang semburat cahaya tampak tegar
Kala suaranya terdengar
Namun simfoni pagi tertidur
Berpendar lalu pudar



"Hari H"

Jauh-jauh hari siapkan diri
Ketika pendulum waktu berlari:
Perayaan hari-hari besar bertamu lagi

Sorak sorai begitu ramai:
Hore...hore..hore...

Anak-anak berlari-lari kesana kemari
Wajah mereka berseri-seri
Bahagia tiada tara
Duka lara seakan tak terbaca

Itulah di negeri kami...

Sementara di negeri seberang
Anak-anak masih berjuang
Mencari riang yang hilang
Sebab perang masih meradang

Pelor senapan datang bagai angin topan
Rudal jatuh seperti rintik-rintik hujan
Bom hancur sekitar pun lebur lalu terkubur
Ranjau tanam bak sedang bercocok tanam

Begitulah balada nun jauh di sana..

Andai hari biasa tak berbisa
Tak seperti ular yang haus menikam mangsa

Andai jiwa masih lebih berharga
Dari sebarel minyak dunia
Dari secangkir air pelepas dahaga
Dari selembar kain yang menutupi raga
Dari sebongkah aksesoris penghias citra
Dari segenggam makanan penambah tenaga
Dari sebaris kata pelengkap fatwa
Dari seuntai ideologi pengikat dunia

Dalam hati bergejolak jua:
Ah, sepertinya kami terlalu mengada-ada
Bisa berdiri pada hari H
Sudah sangat luar biasa
Apalagi bisa menghamba pada Tuhan yang mahasuci
Kala nuansa seperti ini

Apakah kami terlalu bermimpi?
Berharap api lekas mati
Berharap padi segera berisi
Berharap tembok masih berdiri tegak
Berharap uluran tangan bukan dipermainkan
Berharap lelap tidak didera kalap

Ya Robbi 'izzati
Kami yang berdiam di sini
Melalui bait-bait sunyi
Berharap kalian seperti kami

Akankah selalu seperti ini?

"Kembang Wangi"

Malam serasa berbeda jika kau ada di sana
Kau Sembunyi di balik buku yang kau baca
Ku hanya diam seribu bahasa
Ingin kueja kata-kata yang kau baca
Agar aku mengerti apa yang sedang kau rasa
Namun semakin ku mencoba
Diriku tak kunjung bisa menerka

Kau memang seperti mawar berduri
Semakin ku dekati, durimu kian menyakiti
Namun wangimu selalu bisa kunikmati
Walau aku tiada pernah mengerti
Laksana sedang sakau di atas kesadaran diri

Pagi serasa berbeda kalau kau ada di sana
Kau Sembunyi di balik laku yang cenderung kaku
Ku hanya terpaku bagai membatu
Namun sederhanamu selalu bisa buatku membisu
Walau ku tak kan pernah tahu
Bagai terbidik pelor tajam sang pemburu

Kau bagai fatamorgana di jalan yang mulus
Semakin ku dekati, bayangmu seakan-akan mulai terhapus
Namun hadirmu sungguh nyata
bagai kapur barus yang belum tergerus
Walau terkesan putih mulus
Seperti bayang-bayang yang gamang
Tuk lekas membekas paras yang telah terlepas

Di mana pun kau berada
Kau seperti paradoks yang selalu terjaga
Meski berada di sisi berbeda
Kau seperti pembeda di tengah gelap dan sunyinya rimba
Ketika padang cahaya sudah tak tertera

Ketika kurangkai semua
Kau telah tiada
Ketika kujalin yang tersisa
Kau seolah menjadi sia-sia
Ketika hilang seketika
Kau menjadi bayangan yang nyata
Lenyap nan fana