Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

"Catatan"

Catatan itu seperti terpahat sendiri
pada bahu waktu.
Meruang.
Meraung.
Mengungkap. Menangkap. Menganggap.
Mengurai dirinya sendiri.
Bagai seorang bayi merangkak. Duduk. Berdiri.
Melangkah. Berlari. Berhenti.

Catatan itu masih di sini
meski berulang kali
ada yang hidup dan mati.
Sampai nanti.

"Kantung Hujan"

Ternyata ada kantung hujan
di bawah rindang matamu.
Sepertinya cukup tuk mengguyur kemarau di hatimu.
Pun dapat menghanyutkan gemerlap taburan bunga di wajahmu.

Kantung hujan
masih mengandung
dan menggantung.
Menunggu kau.

"Malam-malam"

Malam ini tak seperti
malam sebelumnya.
Begitu cerah, begitu pasrah.

Malam ini tak serupa
malam sebelumnya.
Begitu tenang, begitu menang.

Malam ini tak senada
malam sebelumnya.
Begitu buas, begitu waswas.

Malam ini tak setara
malam sebelumnya.
Begitu halus, begitu mulus.

Malam ini tak setingkat
malam sebelumnya.
Begitu cepat, begitu singkat.

Malam ini tak selevel
malam sebelumnya.
Begitu sintal, begitu kental

Malam ini bermalam
pada kamar itu
yang siap-siap mengantarnya
bercumbu menjadi satu.

"Teror"

Teror mendekor ketakutan.
Menelurkan cemas.
Menetaskan ganas.
Menumbuhkan panas.
Diam-diam. Pelan-pelan.

Ia terlahir laksana bayi benalu
yang lupa siapa ibu dan ayahnya.
Ia dibesarkan oleh pengasuh,
   yang hanya kenal dirinya
   yang hanya kenal bajunya
   yang hanya kenal mainannya
   yang hanya kenal sudut kamarnya
   yang hanya kenal nganga rumahya.
Sehingga ia hanya mirip dengannya.

Orang di luar sana terlihat aneh baginya, bahkan tak senada
butir-butir yang dipangku kepalanya.
Ia buang herannya di kasur empuknya
Ingin sekali ia membangun kembarannya di mana-mana.
Hingga lelap datang memeluknya.

Saban hari ia merasa sendiri;
   berdua dengan pengasuhnya
   bertiga dengan benaknya
   berempat dengan kehendaknya
   bersama keterasingannya.
Bagaikan setangkai kembang di tengah padang.

Kembalinya dari hamparan lelap,
keningnya mengkerut jumud: kalap.
Tubuhnya tiba-tiba menimbun geranat
yang urat-uratnya menjulur
dari ujung kaki hingga ujung rambut;
yang sewaktu-waktu bisa menyala
menyanyikan diri, melenyapkan sepi.

Pagi-pagi buta ia beranjak pergi
tanpa bunyi sama sekali.
Ia rebahkan secarik kertas berisi
di atas jarum arloji berbentuk hati.

Ketika embun menguap sempurna,
pengasuhnya sibuk mencari-cari, air matanya berapi-api.
   Setiap celah terbuka dihampiri.
   Setiap ruang sempit dikuliti.
Tapi ia hanya mendapati luapan cemasnya sendiri.

Ia tidurkan mimpi gelapnya
di sofa empuk di depan layar kaca.
Dari balik sana angin berkelakar:
"Sebuah bom mengada-ada. Nyawa tercecer tanpa kata-kata. Kita harus waspada pada ...."
Seketika matanya kosong, batinnya bolong. Tak tertolong.

Teror pun merasa terhina
sebab namanya dibawa-bawa.
"Teror memang ada, tapi itu bukan dari kita", keluhnya.
Dalam upacara tabur bunga dan lebur doa.

"Langit Malam"

Awan-awan di langit malamku
berselimut kabut, abu-abu.
Meskipun begitu,
masih tak semeriah hamparan biru
di langit gundahku.

"Aku dan Rela"

Aku rela ditelan rindu.
Asal kau ada di situ.

Aku rela dihantam pelukan.
Asal kau jauh dari kecurigaan dan kebencian.

Aku rela diusung nasib.
Asal kau belum raib.

Aku rela dihunjam hasrat.
Asal kau peluk dalam nikmat.

Aku rela dijerat ragu.
Asal kau genggam erat aku.

Aku rela dicumbu candu.
Asal kau tiadakan aku.

Asal kau tahu.
Aku sedang yakinkan diriku.
Bahwa kau selalu tahu.


"Tanda Baca"

Aku merentangkan kalian
sampai titik tertentu.
Supaya mudah terbaca.
Supaya bisa mengenal rindu,
sebab tanpaku,
kalian hanyalah satu
yakni barisan bertumpu.

Aku seperti pembeda,
karena sejatinya tersusun
dari anasir yang tidak sama.
Hadirku bukan untuk meniadakan,
bukan pula untuk mengaburkan.
Namun sebagai pelita bagi kegelapan.

Aku adalah belantara tanda;
  yang dapat kauungkap
  yang dapat kautangkap
  yang dapat kauanggap.
Asalkan dirimu selalu terbuka
mendarasnya sepenuh yang kaupunya.

Sebagian kita menepuk dada
di atas mimbar cerita,
lantas berujar dengan sederhana:
   bahwa kisah akan dimulai
   bahwa kasih akan diakhiri
   bahwa rehat akan dihelat
   bahwa tamat akan disemat
   bahwa titah akan ditatah
   bahwa tuah akan diruah.
Dan segera bongkar-pasang muka
agar mudah terbaca sebagai semula.

Tanda baca bebas berkelana,
   entah terbaca atau tidak
   entah tertanda atau tidak.
Tapi ia tetap lah tanda baca
seperti kau dan dia.

"Ah"

Ah,
apa yang keluar dari diriku
adalah dunia kosong
sedang,
dunia yang bebas dariku
adalah wujud dunia hampa.

Di luar daripada keduanya
adalah dunia yang menyatu
di luar batasku.
dan,
sela antara keduanya adalah dunia yang sama sekali tak kujangkau

Ah ...

"Baju Baru"

Esok aku akan mengembara
ke bilik-bilik dadamu
sebelum meliuk-liuk
mengikuti lekuk tubuhmu
yang telah layu
ditinggal pergi
oleh sejumlah tamu.

Tepat di tanggal itu
kuharap umurmu belum tanggal
sebab akan kubawakan baju baru
buat menutupi nganga masa lalu
di sekujur tubuhmu.

"Ingat?"

Kekasih,
bukankah selalu ada Aku dalam pengakuan?
bukankah selalu ada Anda dalam pandang?
bukankah selalu ada Dia dalam diam?

Lalu,
kenapa kau meluapkan kealpaan?
Lalu,
kenapa mereka menapikan ketiadaan?
Lalu,
kenapa kita melupakan kehadiran?

Bukankah ...
Lalu ...
Berlalu ...
Ingat ....

"Kendali"

Barangkali suara yang sampai padamu kala itu
hanya kauanggap angin lalu.
Sebab kau lebih memilih api
meski kelak pasti membakar tuannya sendiri.

Padahal akan jauh lebih berseri,
jauh lebih syahdu.
Menangkap isyarat sanubari,
yang sungguh mampu
mengungkap berjuta-juta misteri.

Tapi,
pilihanmu mesti kuhargai,
mesti kupayungi.
Karena kau jauh lebih mengerti
betapa rawannya lepas kendali,
betapa gawatnya mati tanpa arti.

"Pahitmu: Aku"

Mari seduh duniamu,
racik di ceruk batinmu;
tuangkan pelan-pelan kristal jiwamu,
tambahkan bubuk nalurimu,
lumuri dengan sebagian samudera sukmamu.

Lalu,
hirup dalam-dalam dengan karsamu.
Cecap dengan ujung karyamu.
Teguk hingga ke dalam palungmu.

Akhirnya,
pekatmu adalah satu,
hitammu adalah rindu,
dan,
pahitmu adalah aku.

"Sandaran"

Entah kenapa kau tiba-tiba
ingin bersandar pada senja
yang muncul sekejap mata
Padahal bahuku terus terbuka
untuk kausinggahi kapan saja

Bukannya aku cemburu, kekasih
Tapi nadiku berdegup malu-malu
menunggu kaucumbu
karena sudah tak terhitung
berapa kali siang-petang muncul-tenggelam berulang-ulang

Asal kautahu
bahuku seperti dulu
meski tahu akhirnya layu

"Mata, Tuan dan Puan"

Ada tuan-tuan bermain mata
Ada mata-mata bermain tuan
Ada puan memindah tuan
Ada tuan mengindah puan

Mataku hilang tuanku datang
Tuanku pulang mataku hilang
Tuanku garang memata-mataiku
Mataku girang menuan-nuankanku

Tuan menjadi teman mataku
Mata menjadi teman tuanku
Mata tuan merubah temanku
Teman tuan menabuh mataku

Namun tanpa mereka
mata-mata kekurangan mata
tuan-tuan kehilangan tuan
puan-puan kepunahan puan

Sedang dari sini,
mereka adalah seri
titik-titik seperti rasi

"Jangkrik"

Suaramu kala itu
tak semerdu nyanyian jangkrik
di balik panggung sunyi
yang pernah membasuh keruhku
kembali murni

Tapi, suaramu tetap lah bunyi
yang pernah mendiami gendangku
yang sewaktu-waktu dapat kuulangi
terlebih lagi ketika ganjil dan sanksi

"Nasib Viral"

Nasib di antara dua dunia.

Belakangan, si viral mendulang tenar.
Gaungnya hendak melangkahi semar.
Walaupun terdengar samar-samar,
namun berlapis-lapis pula yang gemar.

Aneh. Tapi lumrah.

Hampir setiap saat,
Ia melompat secepat kilat
jungkir balik bolak-balik.
Lagi dan lagi.
Seakan dunia kian menyempit.
Seakan tuannya turut terbalik.

Berlabuh jauh. Teramat jauh.
Menatap diri.

Ia pun terheran-heran.
Padahal ia tak pernah turun tangan
apalagi memainkan peran.
Tetapi namanya terus terombang-ambing dalam ingatan.
Bagaikan perahu di tengah tarian lautan.

Terkatung renung.
Mematung.
Dari petang ke petang.

kini, ia merasa sendiri
setelah dikloning tiada henti
Tetapi tak satupun mau peduli
Sebab jemari jauh lebih berfungsi
ketimbang bening akal budi
dan terang sanubari

Akhirnya...

Nun jauh di lubuk hati
Ia mengundurkan diri
Berdialog dengan diri
Meraih jawaban sendiri
Sebelum akhirnya dijemput mati

Pada nisannya,
tertuang aksara sepi, berbunyi:
"Aku hanya mati suri"