Tumpukan Terakhir

Hidup di atas kasur plastik sisa pesta keluarga mapan adalah hal biasa bagiku. Hidup sebatang kara di tengah rerimbun sampah sudah bukan hal yang asing bagi diriku. Aku yang telah terbiasa mengais botol, kertas dan remah-remah yang menumpuk di belakang rumah plat merah itu untuk menukarkannya dengan sebotol air dan sebungkus nasi. Selebihnya saya peroleh dengan mengambil bekas makan orang-orang yang ditinggalkan di atas meja kedai pojok. 

Menjelang fajar, saya berangkat hanya bermodalkan goni sebagai wadah penampung harapan yang tercecer. Sebatang kayu untuk mmbolak-balikkan tumpukan yang menggunung. Botol plasik, botol kaca dan gelas plastik saya pilih yang belum terkoyak lalu kuendapkapkn pada dasar goni. Di baqah terik mentari yang menyengat keringatku bercucuran menetes pelahan bercampur nyanyian perut yang memekik keheningan.

Saya bukan satu-satunya anak yang mengorek tumpukan itu. Jumlah kami memang tak sebanyak gunung yang ditimbun orang-orang kota setiap pagi dan sore hari. Mulai dari anak kecil sampai tua renta baik pria maupun wanita mengendap melebur sampai tak bisa dikenali. Walau baunya menusuk hidung menghujam saraf tapi tidak ada yang bernjak menjauhi tempat iru kecuali goni mereka sudah penuh. Begitu terus dari hari ke hari.


bersambung....