Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

Hidup di manakah kita?

Tersiar kabar melalui dunia maya:
Publik ramai tunjuk sana dan sini
Emosi buncah bagai erupsi gunung berapi
Melahap segala yang dijumpai
Lantaran Kata-kata tanpa ekspresi
Sebab tanda-tanda tanpa bunyi
Tersebar melalui suara dan frekuensi
Sampai menunggangi kendali hati nurani

Seketika celah-celah terbuka lebar
Selebar lubang antara anyaman pagar
Namun suara-suara masih terdengar
Dari lidah dan bibir yang bergoyang
Lalu menusuk telinga yang sembarang menangkap getar
Kemudian angin genit pun tiba-tiba mengusik sabar

Kini nasi telah menjadi bubur
Citra yang gugur umpama daun pada musim gugur
Darah daging saudara telah hancur lebur
Dilumat badai sekelebat kilat bergemuruh guntur

Sekarang sudah terlanjur terlempar
Ke dunia luar yang sungguh liar
Yang Jauh berbeda dengan layar kaca Itulah dunia kita, realita
Dunia yang penuh dengan kata, tanda, suara, etika, dan semua yang ada
Dan yang telah tiada

Keduanya boleh jadi berubah semaunya
Bisa jadi merubah segalanya

Hidup di manakah kita?

"Tolonglah Kami"

Jangan biarkan kami terlena
Lega sewaktu berlaku tega
Bangga bergelimang dosa
Tenggelam dalam samudera nista
Merenggut nyawa yang tak berdosa
Bahkan menghalalkan segala cara
Hanya untuk menguasai yang fana
Bukan tuk ridho sang pencipta

Maka tolonglah kami
Dari pikiran yang tak terisi
Dari laku yang keji
Dari jiwa yang tidak murni
Dari raga yang hilang kendali
Dari hati yang mati

Hanya itu yang kunanti
Cintai dan ridhoilah kami

"Menyusuri Jejak"

Perjalanan adalah untaian pengalaman yang mengisahkan suatu misteri, peristiwa, proses, perjuangan, kenangan dan harapan. Kadang kala berjumpa dengan yang diharapkan dan diimpikan. Namun terkadang pula situasi dan kondisinya tidak sesuai, tiba-tiba hadir dalam kehidupan kita.

Sepanjang jalan yang penulis lalui, banyak tempat dan peristiwa yang bisa diamati dan dinikmati. Kampus yang megah dengan bangunan intelektual, spiritual dan ruang aktualisasinya. Sekitarnya banyak kos dan kontrakan yang penuh oleh orang yang berdomisili sementara baik untuk mencari ilmu atau bekerja. Sebelah kanannya terdapat toko kecil dan ruko bersebelahan dan di seberangnya ada mall,sehingga tampak adanya romansa persaingan. Entah yang mana yang akan mampu bertahan, tinggal menunggu waktu.

Setelah itu kendaraan yang kami tumpangi menambah lajunya, dipinggir jalan terlihat pengemis yang menengadahkan tangan kepada orang yang ditemui.  Pengamen melantunkan lagu dengan suara merdu dengan iringan bunyi gitar, jimbe dan ecek-ecek. Sedang rekannya yang lain keliling menghampiri pendengar sembari mengais uang recehnya. Terkadang yang dihampiri ikut bernyanyi seperti menikmati.

Kendaraan kami berhenti di pertigaan lampu merah. Polisi lalu lintas asyik mengatur lalu lalang kendaraan supaya lancar, karena seringkali terjadi kemacetan. Apalagi pagi hari saat itu merupakan weekend dan sedang ada karnaval. Jalan yang kapasitasnya bertambah sedikit tidak diimbangi dengan membeludaknya jumlah kendaraan yang turun ke jalan.

Lampu hijau pun menghitung mundur, kendaraan kami berangkat lagi. Di sebelah kiri kami sedang ada pembangunan perumahan elit. Bukan untuk kalangan kelas bawah namun bagi kalangan menengah ke atas. Tukang bangunan sibuk mendandaninya sesuai rencana awal. Padahal saat ini harga material dan kayu sedang melonjak tinggi, seperti naiknya harga daging saat bulan puasa. Naiknya cepat, tetapi turunnya lama. Maklum ikut merasakan dampaknya, hehehe.

Kemudian sekitar 20 meter terdapat rumah tua seperti tiada penghuninya. Temboknya tampak lusuh, rumputnya tinggi, kembagnya seolah tidak terawat, dan kursi di teras kotor dan tidak tertata. Sebelah rumah itu ada tanah lapang seperti lapangan sepakbola, namun tiang gawangnya berkarat seolah jarang dipakai. Rumput yang tumbuh di lapangan tersebut terbilang subur, yang di dalam garis tingginya hingga di atas mata kaki, sedangkan yang di luarnya setinggi lutut orang dewasa.

Dalam diam penulis memikirkan kondisi sepakbola di negeri ini. Tempat latihannya ada tetapi tidak bisa dipakai karena belum rampung dan kesandung kasus. Tempat pemusatan latihan yang digadang-gadang menjadi ikon baru tersebut sampai sekarang masih belum jelas nasibnya. Pengurus lembaga olahraga yang melontarkan jargon "Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat" tersebut, justru kasusnya tidak sehat. Tetapi tidak semuanya yang seperti itu, hanya segelintir oknum saja.

Kemudian di seberang jalan ada kantor dinas, yang bersebelahan dengan sekolah SD, SMP dan SMA, yang gerbangnya baru dibuka. Hanya ada pak kebun yang sedang bertugas, mengalahkan pejabat dinas yang kadang-kadang telat datang walau ada rapat tentang nasib rakyat. Tukang kebun seperti pegawai sungguhan yang berwenang mengurusi keindahan dan tatanan lingkungan. Seperti biasa di depan pagar, ada pedagang kaki lima yang berderetan.

Sepanjang trotoar, gerobak mereka menawarkan jajanan ringan untuk semua kalangan, harganya pun terjangkau. Pembeli yang datang mengantri seperti antrian BBM ketika sedang mengalami kelangkaan, akibat merebaknya wacana kenaikan harga bahan bakar kendaraan. Padahal banyak yang 'nakal' menumpuk bahan bakar itu dalam jumlah banyak di gudang-gudang kosong, sehingga kelangkaan pun terjadi, hampir setiap tahun seperti itu. Antrian seperti ini sudah biasa, namun tetap budaya tertib masih dipegang oleh warga, sambil menunggu mereka bertukar cerita.

penulis merasa seperti kembali ada kenangan masa pelajar dulu. Setelah beli jajanan kemudian duduk di depan kelas untuk menyantap bersama-sama. Tertawa, bercanda ria dan bermain bersama, karena saat itu, belum ramai yang punya gadget, hehehe. Kalau sekarang kan bisa main game sendiri meskipun sedang berkumpul dengan teman-teman.

Setelah itu, penulis melihat pondok di sebelah kiri jalan. Santri-santrinya memakai peci hitam dan sarung, dengan kitab dan polpen di tangannya. Mereka berasal dari berbagai daerah, sehingga karakter, bahasa dan coraknya berbeda-beda. Ada yang diantar keluarganya dan ada juga yang tidak. Mereka belajar ngaji, hidup mandiri dan mengabdi di lingkungan pondok tersebut.

Beberapa meter dari pondok tersebut ada pabrik gula. Seperti biasa, pabrik tersebut ramai dengan antrian truk pembawa tebu. Sopirnya rela menunggu sambil merokok tapi tidak meninggalkan truknya. Namun Ada pula yang mengantri dengan istirahat di warung kopi atau di tempat lain. Tanpa mereka mungkin kita tidak bisa menikmati manisnya gula.

Meski harga gula di pasaran merangkak naik tetapi tidak membuat status ekonomi mereka ikut naik. Para Petani memasrahkan hasil panennya ke pabrik melalui beberapa tahapan, yang cenderung mencekik mereka. Apalagi jika ada permainan pasar yang tidak sehat. Sepertinya bukan hanya komoditas tebu yang mengalami fenomena ini. Padahal ada yang bilang kalau kita negara 'agraria' dan 'maritim', tetapi masih kesulitan mendapatkan bahan-bahan pokok, seperti beras dan gula. Bahkan pemerintah masih (sering) membuka kran impornya dengan lebar. Bisa dikatakan bahwa faktor penentunya terlalu banyak dan rumit.

Ketika angin yang bertiup bertambah kencang, tiba-tiba truknya berguncang karena jalannya bergelombang. Sontak seketika teman-teman perempuan berteriak, yang tidur menjadi terbangun, sedang yang laki-laki sebagian sholawat dan bernyanyi. Seolah truknya menjadi tempat konser artis luar negeri yang sering diikuti (menjadi tren setter) oleh anak muda. Kalau tidak mengikuti tren katanya tidak kekinian.

Saat itu terjadi, penulis melihat di sebelah kiri ada masjid jami' dengan ukiran kaligrafi di dindingnya. Ternyata masjid itu pernah menjadj posko pengabdian masyarakat (akronim: PM) oleh mahasiswa UIN Malang. Masjid tersebut tempat dilaksanakan pengajian rutinan, kegiatan keagamaan dan diniyah oleh warga setempat. Gerbangnya terbuka bagi pendatang yang mau beribadah dan beristirahat sejenak dari perjalanan jauh.

Tidak jauh dari sana, ada jembatan yang besinya telah berkarat. Melihat kondisinya, jembatan tersebut dibangun sudah puluhan tahun. Di bawahnya, sungai mengalirkan air ke sawah milik petani. Konon dahulu airnya bisa dipakai mandi dan minum, karena masih bersih dan bening. Namun saat ini sudah jauh berbeda, penuh dengan lumpur dan sampah yang dibuang ke sana.

Setelah melewati jembatan, kami melihat sawah dengan hamparan padi, pohon pisang, rumput gajah dan petani yang istirahat bersama istri dan anaknya di rumah-rumahan sawah yang beratapkan jerami. Kakinya masih menyisakan lumpur kering yang tampak putih. Mereka makan bersama dengan lauk seadanya, tapi wajahnya tampak bahagia, berseri-seri dan energinya pun kembali. Sosoknya pun mengendap di balik daun-daun, ketika kami melewati kebun di sebelah kiri dan kanan kami.

Udara segar dan sejuk ketika melewati kebun muncul dari rindangnya pepohonan dan semak belukar. Warna daunnya masih hijau dan tanamannya beragam. Berbeda dengan di pusat kota, hutan beton, kaca dan plastik mengganti tanaman organik. Kemudian sampailah kami di bibir pantai. Angin laut, pasir dan batu karang menyapa dengan tenang. Tidak terkecuali debur ombak yang bernyanyi gembira.

Di sana keakraban, kebersamaan dan persaudaraan kami terasa meski hanya dengan permainan sederhana dan kumpul bersama. Asal, bahasa, warna kulit dan jabatan memang berbeda, namun dalam bingkai yang sama; satu rasa, cita dan nuansa, seolah tiada yang berbeda. Semua saling membantu, mendukung, melebur dan belajar bersama.

Kekurangan anggota yang lain ditutupi dengan kelebihan yang lain, melalui tegur sapa dan kerjasama. Sesuatu yang terlupa untuk dibawa, mulai dipikirkan dan diselesaikan bersama. Keriuhan, kebimbangan, keburu-buruan, keletihan, dan kejengkelan terkadang terlukis di raut wajah mereka. Namun hanya menjadi bumbu semata, tanpa memendamnya berlarut-larut. Karena semua itu larut bersama cerita, suara, canda tawa, dan usaha mereka.

Mereka mencontohkan adanya miniatur kecil sebuah negara. Negara yang pemerintah, rakyat, perangkat dan sistemnya berjalan beriringan, bergandengan dan terintegrasi dengan baik untuk tujuan tertentu. Bukan yang mengagungkan kekuasaan, memperlebar gap dan perselisihan, membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan, membiasakan kecurangan dan saling menjatuhkan, serta menghilangkan kepercayaan di antara mereka dan meninggalkan tujuan utama.

Seperti biasa akhir acara ditutup dengan foto bersama, ibadah berjamaah, kemas barang bergotong royong, mandi dan kumpul lagi. Kemudian satu persatu naik truk, dimana yang takut atau tidak bisa naiki truk, dibantu oleh teman-temannya yang lain. Sebelum berangkat semua berdoa dan bersholawat. Dan akhirnya beranjak pulang.

Malam bertambah gelap, peserta sebagian tidur, sementara yang lain bertukar cerita dan bernyanyi bersama. Sedangkan penulis sibuk melihat kiri dan kanan jalan. Keluar dari hutan, sebuah desa mengalami pemadaman serentak. Akhirnya mereka terpaksa menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Sehingga menambah romantisnya suasana desa.

Sejenak ku terlelap dan terbangun ketika truk memasuki kota. Warung-warung pinggir jalan mulai ramai dengan pengunjung sendirian dan berpasangan. Gerobak nasi goreng, sempol, cilok, jus, martabak, dan aneka kuliner lain seakan tidak mau ketinggalan. Jalanan pun semakin macet karena banyaknya kendaraan yang tumpah ke jalan, dan trotoar penuh sebagai cabang parkiran.

Kuliner di kota memang beraneka rupa dari tradisional hingga kekinian, baik yang berada di restauran, foodcourt, kantin, warung remang-remang, kedai kecil, warkop, mall, dan warung makan pinggir jalan. Wajah malam di kota cenderung ramai hingga menjemput pagi. Begitulah seterusnya, sehingga banyak orang kota yang merindukan suasana desa dan destinasi wisata.

Malam dan pagi dengan segala gejala dan isinya memberikan warna tersendiri. Itulah untaian kisah yang kami lalui. Jejak langkah tidak berhenti sampai di sini, dari bangun lalu tidur, dan bangun lagi. Semoga ada Hikmah di balik semua ini.

"Merindukan Lindu"

Menjelang pertengahan malam, tiba-tiba gempa menggoyang dengan kekuatan 6,2 skala Richter. Gejala alam tersebut seringkali terjadi di negeri ini. Saat gempa berlangsung sebagian orang berlomba-lomba keluar dari bangunan bertingkat, karena khawatir roboh. Ada yang sibuk update status dulu, kemudian menyelamatkan diri. Banyak yang tergopoh-gopoh mencari tempat yang tinggi karena takut terjadi tsunami. Bahkan ada pula yang tidak tahu kalau gempa sedang terjadi, karena asyik dengan aktifitasnya masing-masing.

Namun bagi petugas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (akronim: BNPB) ini adalah tugas kemanusiaan yang memerlukan penanganan secepat mungkin. Mereka harus melihat data dan langsung terjun ke lapangan untuk memastikan keadaan. Karena nyawa manusia sangat berharga. Dinas-dinas yang terkait biasanya ikut membantu melancarkan proses penanganan, penampungan dan pendampingan.

Namun gempa kali ini tidak begitu terdengar, hanya setengah hari kemudian pudar. Gelombang berita atau media seakan melebihi kekuatan gempa sehingga mampu mengalihkan gejala alam tersebut ke gejala sosial, politik, hukum dan budaya. Boleh jadi gempa yang menakutkan dan mengkhawatirkan telah pergi jauh, dan diganti hiburan seperti biasa. Sebentar penat, senang sejenak kemudian penat lagi.

Bagi pihak tertentu, gempa ini merupakan musibah atau teguran dari Tuhan. Pihak yang lain beranggapan kalau gempa ini hanya gejala alam biasa. Apa pun tafsiran masing-masing tepat benar sesuai sudut pandang atau alasan dari argumentasinya. Namun bertengkar untuk memperebutkan pihak yang benar -- tidaklah bijaksana, karena pertolongan pertama atau menyelamatkan jiwa korban (tindakan kemanusiaan) lah yang lebih baik.

Entah, bagaimana nasib para korban yang terkena musibah tersebut, kabarnya masih simpang siur. Pastinya mereka sedang merasakan kepedihan, kedinginan, kekhawatiran dan trauma yang mendalam. Untuk itu alangkah lebih elok jika bahu membahu membantu mereka. Walaupun mereka bukan saudara sedarah, sesuku, se-iman, bahasa dan budaya yang berbeda, tetapi masih bersaudara sesama manusia, hamba dan makhluk ciptaan Tuhan.

Perlu kiranya kita mengedepankan rasa persaudaraan, kemanusiaan dan kebersamaan, tanpa menungganginya dengan kepentingan, kedengkian dan kefanatikan. Sehingga situasi dan kondisi akan lebih cepat teratasi dan terkendali. Tentunya semua pihak harus terlibat, baik dengan menjadi relawan, donatur, tim SAR, grup Dapur umum, penjaga tenda pengungsian dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, gempa bumi (jawa: lindu) ini suatu saat akan menjadi ladang kerinduan bagi kita semua. Rindu akan indahnya keberagaman dan semangat gotong royong. Namun bukan berarti harus menunggu datangnya sang lindu, baru hidup rukun. Kerukunan merupakan salah satu jalan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan.

Apakah ini terlalu muluk? Tentu tidak, jika kita berani melaksanakannya tanpa menonjolkan biang perselisihan. Tapi akan muluk jika selalu dibenturkan dan tidak diwujudkan. Perbedaan seringkali menjadi duri yang tajam sekaligus momok menakutkan untuk berani menerima keberagaman yang ada. Lantas bagaimanakah kita menyikapinya? Tentunya tergantung pada pribadi masing-masing.

Peristiwa atau tujuan lain seringkali menjadi media pemersatu bagi dua kubu yang sedang berjauhan. Boleh jadi gempa atau lindu kali ini adalah salah satunya. Itulah secuil hikmah di balik semua ini,semoga bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Kami merindukanmu wahai Lindu, Tapi kami lebih mengharapkan kerukunan, kebersamaan, kesatuan dan kemajuan, tanpa kehadiranmu"

"Senjata Media berwajah Ganda"

Perkembangan media baik cetak maupun online dewasa ini sangat pesat. Media menjadi kiblat baru yang mengarahkan dan merubah pandangan dan kondisi sosial, politik dan budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Media dengan segala aspeknya menggerakkan pengguna, perancang, pemilik dan penciptanya untuk saling mempengaruhi dalam tingkat kesadaran tertentu.

Media dalam banyak referensi menjadi gerbang informasi, jembatan komunikasi, penyambung lidah, penentu kebenaran, penghias fenomena, penghukum dan penilai, penambah dan penguat referensi, perekat hubungan, pembelajar, pengarah dan penuntun, penghasut, pencetak, ruang kerja, marketing dan branding, dan lain-lain.

Dari sekian banyak hal terkait media, barangkali ada sesuatu yang positif dan negatif yang bisa direspon atau diambil. Bahkan boleh saja untuk tidak dipedulikan sama sekali. Semua itu tergantung dari pribadi masing-masing, mau di dalam lingkaran media, di orbit media atau di luarnya saja.

Media dalam hubungannya dengan aspek yang lain - sangat terkait bahkan tidak bisa dipisahkan. Misalnya, media dan politik, media menjadi kontrol terhadap dunia perpolitikan di wilayah tertentu. Kepentingan politik dan politik kepentingan akan mudah diketahui melalui media. Kuantitas dan kualitas berita seputar tokoh atau parpol tertentu akan lebih dominan dibandingkan yang lain. Hal ini tergantung dari kedekatan, transaksi, dan ikatan pihak yang berpengaruh dengan media tersebut.

Media dengan budaya misalnya, budaya baru cenderung akan lebih nge-tren ketika media telah mengangkat dan mengasuhnya dengan baik, melalui settingan tertentu. Sehingga masyarakat luas akan mudah merasa kalau tidak ikut-ikutan, akan dicap tidak kekinian atau ketinggalan zaman. Walaupun budaya tersebut belum tentu baik dan sesuai dengan kondisi mereka.

Dalam kondisi tertentu, isu SARA yang tayang melalui media seringkali menjadi ladang bagi pihak tertentu untuk mengambil keuntungan. Misalnya yang belakangan ini terjadi, beberapa orang merasa bahwa harus ikut menyampaikan pendapat atau kritiknya terkait isu agama di halaman media sosialnya. Entah itu dengan cara yang beretika dan tepat, ataupun tidak. Hal ini dapat membuat khalayak terprovokasi untuk melakukan pembelaan maupun perlawanan. Bahkan mampu memecah masyarakat ke dalam beberapa kelompok, baik kecil maupun besar.

Maka dari itu diperlukan proses penyaringan, verifikasi atau analisa terlebih dahulu terhadap informasi yang diterima. Jangan sampai membiasakan klik dan sebar tanpa membacanya dengan cermat. Padahal informasi tersebut mengandung ujaran kebencian, penipuan, penghasutan, dan konten lain yang negatif. Satu klik bisa mendidik, bisa juga mencekik; satu kali sebar mampu mengajar, juga menghajar.

Hal ini sering terjadi, sehingga menimbulkan keresahan, kegaduhan, perselisihan, bahkan rusaknya persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Boleh jadi karena kecerobohan kita akan membuat orang lain rugi dan celaka. Terlebih lagi jika hal itu berdampak secara luas dan sistemik. Maka berhati-hati dan bijaksanalah dalam memanfaatkan media.

Media seperti belati yang sangat tajam, bisa jadi menusuk yang di dekatnya atau yang memegangnya. Namun belati tersebut bisa digunakan untuk mengiris makanan, memotong batang, mencincang daging, dan keperluan lain dalam kehidupan sehari-hari. Belati tersebut harus disiapkan untuk hal-hal yang bermanfaat. Jika yang memegang tidak mengerti fungsinya atau salah dalam menempatkan manfaatnya maka akan berakibat fatal.

"Media merupakan senjata yang ampuh jika disepuh, tetapi sangat rapuh jika berada di tangan penempuh yang salah asuh"

"Bunga yang Beku"

Di bawah cahaya rembulan angin datang menusuk tulang
Iblis putih sedang menutup pandangan
Kesunyian malam mengikis kehangatan
Tiba-tiba kau datang tanpa senyuman
Seketika malam membeku laksana gumpalan
Bertahan bak gunung es di kutub selatan
Meski ku belai dengan rayuan
Ku berikan sekuntum wewangian
Ku dirikan istana megah dan berlapis berlian
Tiada sedikit pun kau berubah haluan

Wahai bungaku
Kembalilah ke dalam rumah impian
Temanilah daku ke taman keindahan
Di sana hanya ada cinta dan kedamaian
Bukan permusuhan dan perang berkelanjutan

Wahai bungaku
Kembalilah ke dalam pelukan
Temanilah daku terbang melintasi awan
Di sana hanya ada persaudaraan dan kebersamaan
Bukan ketakutan dan perpecahan

Wahai bungaku
Kembalilah ke atas pangkuan
Temanilah daku melayang ke alam harapan
Di sana hanya ada perjuangan dan kerelaan
Bukan kekhawatiran dan keterpurukan

Wahai bungaku
Kembalilah ke dalam ingatan
Temanilah daku menyusuri bekunya pikiran
Di sana tampak ada kemampuan dan keluasan
Bukan kedangkalan dan kefanatikan

Wahai bungaku
Kembalilah ke dalam jiwa
Temanilah daku meresapi cahaya
Di sana hanya ada kenikmatan dan keutuhan
Bukan kemurkaan dan kesesatan

Wahai bunga yang beku
Kembalilah kepadaku
Tetaplah di sisiku
Karena hanya kau jalanku
Sekaligus tongkat dan alat bagiku

"Pahlawan milik siapa?"

Sebentar lagi hari bersejarah terulang kembali, 10 November. Orang-orang biasa menyebutnya dengan "hari pahlawan". Pahlawan bagi setiap orang bisa berbeda-beda. Lantas manakah pahlawan yang sesuai dengan tanggal tersebut?

Sebelumnya mari kita simak definisi pahlawan. Menurut KBBI, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia nomor 33 tahun 1964 tentang penetapan, penghargaan, dan pembinaan terhadap pahlawan Bab I Pasal 1, yang dimaksud dengan pahlawan dalam peraturan ini adalah sebagai berikut.

(1) Warga Negara Republik Indonesia yang gugur, tewas atau meninggal dunia akibat tindak kepahlawanannya yang cukup mempunyai mutu dan nilai jasa penjuangan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan bangsa. (2) Warga Negara Republik Indonesia yang masih diridhai dalam keadaan hidup sesudah melakukan tindak kepahlawanannya yang cukup membuktikan jasa pengorbanan dalam suatu tugas perjuangan untuk membela Negara dan bangsa dan dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu tindak atau perbuatan yang menyebabkan menjadi cacat nilai perjuangan karenanya.

Menurut pengertian tersebut, maka untuk menjadi seorang pahlawan nasional harus memenuhi syarat atau kategori tertentu. Syarat tersebut ada dua: syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 UU No. 20/2009, yaitu:

Syarat umum (Pasal 25 UU No. 20/2009): WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi wilayah NKRI; Memiliki integritas moral dan keteladanan; Berjasa terhadap bangsa dan negara; Berkelakuan baik; Setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; dan Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

Adapun Syarat khusus diatur pada Pasal 26. Gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya: (a) pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa; (b) tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan; (c) melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya; (d) pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; (e) pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; (f) memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau (g) melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Untuk itu setiap orang atau kelompok berhak dan berkesempatan mengajukan pahlawan berdasarkan penilaian dan pertimbangannya. Pengajuan tersebut mengikuti prosedur tertentu yang telah diatur oleh pemerintah. Namun kadang kala akan menimbulkan pro dan kontra pada proses pencalonan, terkait tokoh yang dicalonkan.

Hal ini terjadi karena tokoh tersebut kontroversial, tersandera kasus yang menggantung, adanya kepentingan, menimbulkan konflik, berpengaruh secara signifikan atau sistemik, dan kontribusinya. Pemberian gelar tersebut menghabiskan waktu yang cukup lama. Karena bukan gelar yang asal-asalan atau sekedar hiburan. Namun boleh jadi gelar tersebut setelah disematkan akan dicabut kembali, jika tidak sesuai atau melanggar syarat tersebut.

Sebenarnya seberapa sakti kah gelar pahlawan yang diberikan kepada seseorang. Apakah kemudian gelar itu membawa perubahan yang baik atau sebaliknya? Akankah dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk kepentingan sesaatnya? apakah hanya tambahan semata? Apakah akan lupa dengan gelar pahlawan yang telah diraih?

Pertanyaan tersebut akan menemukan jawabannya sendiri di kemudian hari. Tentunya kita berharap indonesia tetap meneruskan semangat juang dan pengabdiannya untuk negeri ini. Terlebih di segala aspek kehidupan baik berbangsa, bernegara, berbudaya dan beragama.

Pahlawan bukan milik satu atau dua orang. Namun terlampau menokohkannya akan membuat generasi ke depan akan fanatik dan lupa. Sehingga pahlawan bukan hanya menjadi simbol dan monumen mati yang kering dengan pelajaran, kebaikan dan instrumen masa depan. Semoga pahlawan tidak akan berhenti sampai di sini.

"Sumpah itu (bukan) Sampah"

Wahai lembaran sumpah
Pantaskah kami bersumpah atas nama pemuda pemudi?
Sedang Di tangan kami tertumpah darah-darah rakyat
Tulang belulang mereka hancur berserakan berhamburan di tanah
Tanah bekas keringat-keringat jerih payah
Lumbung dan hartanya telah terkuras habis
Oleh Iming-iming balas budi dari sisa
Yang kami curi
Kau sengsara pun kami tiada sedikit peduli
Sebab kau rela mati di tangan temanmu sendiri dan rakyat pribumi
Kaum berdasi dan lintah luar negeri

Wahai bait-bait sumpah
Pantaskah kami bersumpah atas nama pemuda pemudi?
Sedang hutan rindang, kami ganti dengan hutan buatan yang megah menjulang
Sehingga tampak dari kacanya tubuh-tubuh ringkih yang menahan kelaparan kepedihan dan kesengsaraan
Wajah mereka meringis menepis tangis
Yang sebentar lagi habis kemudian mengemis

Wahai barisan sumpah
Pantaskah kami bersumpah atas nama pemuda pemudi?
Sedang Proyek abal-abal yang berjubel di atas kertas tebal
Hanya untuk mengisi kantong kami menjadi tebal
Walau hanya dengan bermuka tebal
Sedikit bulus seolah memang tulus
Asal jalannya mulus tanpa ada yang jegal
Meski kalian kian kurus
Kami tak sudi tuk ikut mengurus
Yang penting aksesoris kami berbaris Pakaian kami elegan, menawan dan merk kenamaan
Rumah kami luas, tinggi nan megah Mobil kami banyak, bening dan mahal
Asal hidup kami semakin bagus dan tidak asal-asalan

Wahai suara sumpah
Pantaskah kami bersumpah atas nama pemuda pemudi?
Sedang suara rakyat, kami cekik atas nama kebenaran
Tumpukan aspirasi mereka tertahan di tangan perwakilan
Terhalang dinding-dinding kekuasaan
Berkali-kali turun aksi tuk merebut hak kami
Namun semua itu hanyalah suara bising yang tampak tak berisi
Sebab pos-pos penting telah diisi dan digerogoti
Kerobohan kalian adalah anugerah tuk mengakar kuasa yang kian kokoh
Kecerobohan kalian kan jadi celah yang mudah tuk dikecoh

Wahai penggalan sumpah
Pantaskah kami bersumpah atas nama pemuda pemudi?
Padahal dulu kami yang memutar balikkan sejarah
Menjerat dengan data buta
Memasukkan kalian ke lubang pro kontra
Hingga dalang di baliknya tertawa sepuasnya

Andai sumpah ini bukanlah serapah bukan pula sebagai sampah
Masih pantaskah kami bersumpah?

"Seandainya Saya (bukan) Pahlawan"

Dulu bersatu padu merebut 'merdeka'
Semangat juang berkobar dimana-mana
Pekik suara membumbung di udara
Coretan perlawanan terukir di tembok-tembok dan jalan raya
Di spanduk dan selebaran yang ditebar bak spora
Di pagar dan atap rumah yang terjangkau mata

Angkat senjata hantam jantungnya
Serbu menyerbu di medan laga
Gegap gempita menggugat rasa
Komat kamit merapal kata
Mengajak semesta tuk bergerak bersama
Sebab angka telah jauh berbeda

Jeritan pedih tertembak pelor dan ledakan bom penjajah
Bercampur darah yang tertumpah di tanah
Mengalir bagai bara lahar yang terlampau merah
Tangis perih merembah ke sekujur tubuh
Meregang nyawa di ujung galah
Hanya untuk masa depan yang cerah

Jasad-jasad berserakan di haribaan
Terbaring dalam kerelaan
Tulang belulang hancur berhamburan
Terpisah dari jiwa yang mencari jalan
Namun gugurmu masih melekat di ingatan
Di antara suara-suara yang diluapkan
Di dalam karya yang dihadirkan
Di tengah perubahan yang bergerak ke depan

Kini kau telah tiada
Mendahului kita semua
Pahlawan yang ada beragam warna dan rupa
Karena orang terdekatnya
Untuk kawan dan lawannya
Demi kepentingan sesaatnya
Namun Pahlawanku berlaku apa adanya
Walau terkadang lupa kalau dia pahlawan jua

"Dia"

Aku bukan pujangga yang pandai merangkai kata-kata
seindah dirimu
Aku bukan raja yang terbiasa bersikap tegas
seperti dirimu
Aku bukan orator yang handal meramu wicara tatkala bersuara
selancang dirimu
Aku bukan seniman yang lihai menata estetika
Sebaik dirimu

Tapi izinkanlah aku selalu mencintamu di dalam setiap hembusan nafasku
Izinkanlah aku berbagi warna dalam barisan pelangi hidupmu
Izinkanlah aku merindu melalui bait-bait doa di setiap ibadahku
Izinkanlah aku mendampingi di beragam keadaanku
Izinkanlah aku bersama melalui  lembaran ceritaku
Izinkanlah aku hadir di tengah-tengah perjalanan waktumu
Dan izinkanlah aku menjadi seorang yang layak untukmu
Untuk sanak familimu
Untuk negerimu
Juga dunia akhiratmu

"Batas Samar di Antara Kita"

Belakangan ini tersiar kabar akan ada aksi besar-besaran di Ibukota, Jakarta. Aksi yang akan berlangsung pada 4 November 2016 mendatang bertemakan aksi bela islam, menolak penistaan agama. Hal ini didasari pernyataan gubernur Jakarta, biasa disapa Ahok, beberapa waktu lalu. Massa yang akan turun jalan tersebut berkisar antara ratusan bahkan ribuan orang. Berapa pun jumlahnya akan terasa nantinya.

Menurut penulis, pesertanya adalah kebanyakan orang islam, namun boleh jadi ada penumpang lain yang ikut-ikutan. Penumpang ideologis, organis bahkan praktis. Sepertinya pakaian yang menunjukkan identitas mereka ketika turun jalan hari itu adalah berwarna putih. Latar belakang pemilihan warna pakaiannya hanya yang mengkonsep dan yang ikutlah yang lebih tahu. Yang penulis bisa katakan, "bukan unsur kebetulan".

Mendengar kabar tersebut, aparat berwenang sudah bersiap-siap merapatkan barisan untuk menerjunkan personilnya. Tidak mau ketinggalan, media sudah mempertimbangkan angle berita yang akan diangkat dan disiarkan. Masyarakat sekitar pun sudah berpikir untuk mencari jalan alternatif agar tidak kena macet. Padahal jakarta sudah terbiasa dengan kemacetan. Pedagang pinggir jalan juga sudah menambah kuantitas barang dagangannya, karena berharap mendapat tambahan penghasilan dari massa yang datang.

Kalau terjadi aksi pada hari itu, sudah dipastikan jakarta menjadi tambah ramai. Atribut dan sorak-sorai jargon yang diluapkan ke udara tidak hanya tersiar di sekitar ibu kota, melainkan hingga ke pelosok desa. Orang-orang yang awalnya membicarakan persoalan air yang macet, banjir yang meluap ke bahu jalan, sawah yang gagal panen, pemilu yang sebentar lagi tiba, kasus pembunuhan jesica-mirna, koruptor yang tertangkap basah, pejabat yang melakukan pungli, mahasiswa yang menuntut kasus kejahatan HAM, beralih ke bahasan terkait aksi itu. Aksi tersebut seakan menjadi magnet baru di awal november ini.

Mengingat ramainya obrolan terkait aksi tersebut, perlu kiranya kita menepi bersama sunyi dan merenungkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pergi camping bersama keluarga atau teman ke pantai atau gunung yang lebih sepi dan udaranya menyegarkan, menjadi pilihan. Di tempat itu kita bisa menghilangkan penat, mempererat persaudaraan, belajar memahami orang lain, belajar kesederhanaan, menghargai perbedaan, menikmati perjalanan, kebersamaan, suasana alam dan bermain bersama.

Daripada menyebar ujaran kebencian, menebar virus berbau SARA, merusak ketertiban dan fasilitas umum, membenci satu sama lain, memperluas pertikaian dan keberpisahan, dan terlebih lagi merongrong kedaulatan negara. Di satu sisi kita bisa puas dengan perlakuan kita, namun di sisi lain bisa mengganggu orang lain. Bukankah kita juga tidak senang diperlakukan seperti itu.

Hal ini penulis sampaikan karena di beberapa media sosial (akronim: medsos) sudah ada yang menghujat Ahok habis-habisan. Pihak lain yang pro Ahok mendukungnya habis-habisan pula. Pengguna medsos seakan terpecah ke dalam dua kubu yang entah diinginkan secara sadar apa tidak, tapi itulah yang terjadi. Sehingga gesekan antara keduanya masih terus terjadi dan boleh jadi berdampak ke orang lain di luar kubu itu.

Namun penulis membayangkan kalau ada keterkaitan dengan isu-isu lain yang lebih serius, boleh dikatakan ini bukanlah masalah sepele. Namun jika tidak ada hubungannya dengan yang lain, ini bisa segera diselesaikan oleh pihak yang menuntut dan yang dituntut dengan cara damai atau jalan hukum, tanpa mengikut sertakan masyarakat luas. Karena kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri atau golongannya.

Penulis berharap apapun yang terjadi sebelum dan sesudah aksi tersebut, tidak membuat kita kian anarkis, arogan, tidak adil, merasa paling hebat dan benar, terpecah belah, tidak suka berdialog, saling menjatuhkan, suka diadu domba dan mencari kambing hitam serta berbalik arah menjauhi norma dan ajaran yang selama ini kita yakini masing-masing. Aksi tersebut disadari atau tidak, akan mengukir sejarah di negeri ini. Sejarah yang kita buat dan saksikan sendiri, apa pun itu. Entah hari ini, esok hari atau lusa nanti.

"Mari kita sama-sama untuk tidak berhenti mengintrospeksi diri, belajar lagi, dan kembali"