Teror mendekor ketakutan.
Menelurkan cemas.
Menetaskan ganas.
Menumbuhkan panas.
Diam-diam. Pelan-pelan.
Ia terlahir laksana bayi benalu
yang lupa siapa ibu dan ayahnya.
Ia dibesarkan oleh pengasuh,
yang hanya kenal dirinya
yang hanya kenal bajunya
yang hanya kenal mainannya
yang hanya kenal sudut kamarnya
yang hanya kenal nganga rumahya.
Sehingga ia hanya mirip dengannya.
Orang di luar sana terlihat aneh baginya, bahkan tak senada
butir-butir yang dipangku kepalanya.
Ia buang herannya di kasur empuknya
Ingin sekali ia membangun kembarannya di mana-mana.
Hingga lelap datang memeluknya.
Saban hari ia merasa sendiri;
berdua dengan pengasuhnya
bertiga dengan benaknya
berempat dengan kehendaknya
bersama keterasingannya.
Bagaikan setangkai kembang di tengah padang.
Kembalinya dari hamparan lelap,
keningnya mengkerut jumud: kalap.
Tubuhnya tiba-tiba menimbun geranat
yang urat-uratnya menjulur
dari ujung kaki hingga ujung rambut;
yang sewaktu-waktu bisa menyala
menyanyikan diri, melenyapkan sepi.
Pagi-pagi buta ia beranjak pergi
tanpa bunyi sama sekali.
Ia rebahkan secarik kertas berisi
di atas jarum arloji berbentuk hati.
Ketika embun menguap sempurna,
pengasuhnya sibuk mencari-cari, air matanya berapi-api.
Setiap celah terbuka dihampiri.
Setiap ruang sempit dikuliti.
Tapi ia hanya mendapati luapan cemasnya sendiri.
Ia tidurkan mimpi gelapnya
di sofa empuk di depan layar kaca.
Dari balik sana angin berkelakar:
"Sebuah bom mengada-ada. Nyawa tercecer tanpa kata-kata. Kita harus waspada pada ...."
Seketika matanya kosong, batinnya bolong. Tak tertolong.
Teror pun merasa terhina
sebab namanya dibawa-bawa.
"Teror memang ada, tapi itu bukan dari kita", keluhnya.
Dalam upacara tabur bunga dan lebur doa.