Papuma Beach

Barisan Pemimpin Masa Depan

HIMASKA "Helium"

Khotmil Qur'an dan Tumpengan

Kelas A 2008

Jalan-jalan ke Candi Badut+makan bareng

Perpisahan Kelas

Foto bareng di depan Fakultas Saintek

Kelas B-4 PKPBA

Kuliah PKPBA di depan Rektorat

Keluarga Besar Heler

Mandi Bareng di Penumpasan

Muktadi Amri Assiddiqi

Narsis Rumah Jorogrand

Pramusta Bapewil IV Ikahimki

Upgreding Bapewil IV Ikahimki di Pantai Papuma

"Taman Langit"

Dering malam melolong panjang
Gema tabuhan menjura langit
Kembang api membokongi gemintang
Derap kaki mendongengi sandal jepit

Kantung hitam melayang-layang
Letupan pesta merias bayang-bayang
Lembaran waktu bertanggalan
Memeluk tanggal yang bakal tinggal

Puing-puing membangunkan fajar
Api unggun tertidur beku
Musim datang mengetuk pagar
Hari anggun terharu biru

Taman langit tak lagi sengit
Taman langit kembali dipingit
Taman langit melangit

Oh... Taman langit
Seakan berhenti.
Oh... Taman langit
Tiada lagi.

Kembali...

Tenda Biru, 01-01-2020

"Kampung Halaman"

Halaman pertama:
Duduk bersama

Halaman kedua:
Duduk bersama melingkari waktu

Halaman ketiga:
Duduk bersama melingkari waktu sembari menghafal rindu

Halaman keempat:
Duduk bersama melingkari rindu sembari merapal waktu

Halaman kelima:
Duduk bersama bersama-sama memeluk satu

Halaman keenam:
Kembali bersatu

Halaman terakhir:
Kembali

Tenda Biru, 13 Desember 2019

"Pisau Dapur"

Dalam mimpiku yang damai, setelah datang suara lirih ibu. Diam-diam pisau yang kubungkus itu mengiris jemarinya. Darah mengucur bak air mancur. Kemudian diikat dengan plastik bekas bungkus infusku. Tiba-tiba ketika terbangun, tangannya sudah terbalut kasa dengan wajah pucat pasi. Persis seperti aku yang tersentak ketika berdiri di hadapan cermin depan kasur. Ternyata jari dan dadaku penuh dengan sayatan.

Tenda Biru, 13-08-2019

"Pakaian"

Pakaian kebesaranku dijahit oleh ibu dari urat tangannya. Warnanya yang merah merona dan penuh corak adalah bekas darahnya yang terserap. Baju itu hanya kupakai ketika momen-momen yang menentukan. Mulai dari pekerjaan dinas sampai perjalanan atas nama dinas. Mulai dari tugas ngurusin kantong sampai ngurasin kantor. Mulai dari peletakan batu pertama proyek untuk fasilitas umum sampai pengerukan batu sungai sebagai penghias taman pribadi. Mulai dari kumpul keluarga sampai pesta ria dengan mitra. Mulai dari perumusan regulasi sampai pemulusan reputasi.

Pakaian itu kini telah mengecil. Entah karena aku yang kian membesar atau sebaliknya. Waktu reuni keluarga kubisikkan ke ibu bahwa pakaian kebesaranku sudah tidak muat lagi di tubuhku. Ibu menjawab kalau baju cadangan sudah dibuatkan jauh hari dan nanti diambil usai acara. Ternyata di dalam kresek berwarna hitam itu pesananku dikemas dengan rapi persis seperti kado buat pejabat tinggi. Karena malu dengan pakaian yang sedang kupakai, aku bergegas menggantinya. Pakaian itu tak seperti pakaian kebesaran karena membuatku merasa lebih kecil darinya. Ketika aku kembali ke tengah perjamuan, sebagian besar berdecak kagum. Tetapi jauh di dalam diriku aku merasa sedang dikecilkan. Bahkan dikucilkan. Ibuku hanya tersenyum. Seperti pertama kali melihatku kala melahirkanku.


Tenda Biru, 17-08-2019

"Telepon"

Telepon genggam yang kupegang sekarang adalah hadiah dari ibu karena aku jadi juara kelas. Meski terbilang jadul dan tidak keren tapi masih berfungsi dengan baik. Suatu hari telepon butut itu kuganti dengan yang paling baru dan canggih. Uang dari hasil diplomasi dengan ibu. Dengan telepon baru itu aku bisa mengakses segala informasi. Mulai dari yang biasa-biasa hingga yang aneh-aneh. Rasanya aku menjadi lebih canggih dari yang lain. Mulai dari bangun tidur sampai tidur, telepon itu selalu disampingku. Aku sangat bahagia dan merasa tidak kesepian lagi. Ada atau tidak orang lain di sekitarku aku tetap berselancar dan bercengkerama dengannya. Ia adalah makhluk terbaik bagiku. Ia selalu ada untukku, dan aku selalu sedia untuknya. Aku tidak peduli siapa-siapa lagi. Aku hanya ingin menjadi dia, dan dia menjadi aku. Tetapi ketika ibu meneleponku dan mengatakan kalau itu bukan suaraku. Akupun tercengang padahal aku sudah baru. 

Tenda Biru, 14-08-2019

"Koran"

Seorang anak kecil terbaring kaku di atas koran bekas. Di atas informasi itu ia meringkuk layu bagai roti yang basah kuyup. Tepat di samping kepalanya tergeletak buku 'Realitas sosial' beserta pensil kayu sepanjang lima senti. Entah ia peroleh dari mana. Yang jelas masih lebih mengkilap dari kaos yang melekat di badannya.

Sembarang mimpi melangkahi tubuhnya yang dekil dan mungil. Sesekali kaki tangannya bergerak karena dirubung lalat. Ia pun kembali dari mimpinya dalam keadaan telanjang bulat. Kemudian menulis kisah pada bibir jalan yang tidak tertulis dalam buku itu. Bukan pada bangkai industri yang menjejali karung goninya.

Selembar koran itu melongo karena ditinggalkan sendirian tanpa pesan secuil pun. Tanpa banyak bicara ia langsung terbang mencari koran lain yang jejaknya berbeda. Keduanya berpisah dengan membawa bungkusan pertemuan.


Tenda Biru, 19-08-2019

"Kepingan Senja"

Senja di kening pantai
Terbaring santai
Seperti setangkai teratai
Bersimpuh dalam damai

Senja di ujung galah
Berdiri meraih bungah
Begitu resah, begitu pasrah

Senja merapal mantra
Suaranya tak tertangkap telinga
Namun gelombang ekstase dibuatnya

Senja melukis citra
Gatranya tak terperangkap mata
Namun cakrawala terbuai dibikinnya

Senja memintal warna
Ronanya tak terperanjat nuansa
Namun figura terpana disulapnya

Senja tumbuh dewasa
   Dalam tangkup langit bertenda
Senja semakin menua
   Dalam lingkup horison bertanda

Senja menepi
   mengayuh sunyi
      lalu berlabuh kembali
          mengarungi mimpi

          Senja menyepi
      menyepuh sanubari
   lalu bersimpuh lagi
memeluk hari

"Tuang"

Pada secangkir kopi
Selalu tertuang puisi
Yang menyeduh bunyi
Jauh di kedalaman hati

Pernah dari bibir cangkir
Terlahir bayi cerita
     berdarah aksara sebesar nama
Tersembur bak air mancur
     berwajah subur selembab lumpur

Sesekali dari ruap kopi
Melayang spora peradaban
    bersayap kenyataan bertulang perubahan
Merebak ke seluruh sisi
    berwarna pelangi secerah matahari

Diam-diam ampas yang tersungkur di dasar cangkir
Bersujud menundukkan badan
Sembari menengadahkan tangan
Sekaligus merebahkan kehilangan

Cangkir yang tertinggal
Tak kan lekas tertanggal
Meski tamu barunya berhamburan
     Menuang dan mengulang
     Menyulang dan menyilang
Dengan segala kemungkinan

"Garis Edar"

Siang beranjak pergi
Mengemas senja di balik topi matahari
Meski wajahnya letih tapi
Terpancar rona berseri-seri

Malam membuka diri
Menggelar rapi selembar tikar sunyi
Agar langit lekas menyelimuti mimpi
Dan merangkul sembarang melodi tak bertepi

Diam-diam seperti mati
Terang-terangan tumbuh kembali

"Purnama dan Gerhana"

Purnama dan gerhana
Adalah dua museum purba
   yang duduk bersila di angkasa
     dan pintunya selalu terbuka
Untuk kita ziarahi
  atau
     ia bertandang sendiri
Terang-terangan atau diam-diam


"Belum Sempat"

Lebaran tahun ini
   datang terlalu dini
Karena belum sempat haturkan diri
   kepada malam yang diam-diam
     mengemas gelap ke dalam
   lengkung peci dan tasbih sunyi

Lebaran tahun ini
   datang terlalu pagi
Rasanya belum sempat tabur kasturi
   kepada senja yang tiba-tiba
     menyimpan gairah pagi ke dalam
   wadag parfum dan mekar bunga sekuntum

Lebaran tahun ini
   tiba begitu cepat
Sebab belum sempat pilih baju
   yang pernak-perniknya serba baru
   yang dipintal dari jerih berderu
     bagi tubuh rawan yang tiba-tiba
       menangkap isyarat tepi dengan
     daya purba dan gelombang citra 

Lebaran tahun ini
   muncul begitu singkat
Karena belum sempat pasang cermin
   pada kaki langit yang sengaja
     mengalirkan waktu ke dalam
   piringan bisu dan rekaman baru

Lebaran tahun ini
   melesat laksana kilat
Padahal belum sempat bubuhkan surat
   pada rahim putih yang bolak-balik
     menjejalkan janin sunyi ke dalam
   punggung panggung dan jantung zaman

Lebaran tahun ini
    meluncur begitu bebas
Padahal belum sempat pasang tali kekang
   pada selingkar badan yang rela
     mengikat angin liar di dalam
   kepingan darah dan rongga dada

Lebaran tahun ini
    tenggelam begitu dalam
Padahal belum sempat rayakan pesta
    pada relung kosong yang sedia
      mengisi toples hampa dengan   
    menu utama dan gemunung sisa
   
Lebaran tahun ini
   berangkat menjemput lebaran depan
Padahal belum sempat mandi kembang
   pada danau cahaya yang rela
      membasuh debu-karat yang          bertengger dan melekat dari
   ujung rambut hingga ujung kuku

Ah,
andai masih sempat...
 

"Meja Panjang"

Sudah sekian musim
kita tidak bermukim
Entah aku yang terlampau dingin
ataukah kau yang lupa arah angin

Jauh sebelum detik ini
     kita sama-sama melingkari hari
     yang terpaku di dinding rindu
Namun ketika masanya tiba
     kita tak abai memasang mata
     pada sudut lain sepanjang waktu

Meja panjang pun meradang berang
Empat kakinya legam terpanggang
Kursi di depannya meronta-ronta
Menyulap ruangan menjadi tungku menyala

Meja panjang menguap menjadi gundukan awan
    melayang-layang
       menggantung di langit kerinduan
Yang sewaktu-waktu menjelma hujan
    bila telah jenuh dengan kealpaan
       bagi kemarau yang dibentangkan

Meja panjang
  bisa seluas angan
  bisa sesempit pajangan
Seperti kita dan pendulum kenyataan

"Satu Tiga"

Bening gelas kaca di depan retinamu
   masih bisa kau tangkap sesukamu
   pun sebagaimana mestinya
Sementara titik yang segaris sudut matamu
   hanya bisa kau kira-kira
   pun belum tentu akan sama
Namun mutiara di belakang kepalamu
   Tiada sedikit pun terbaca
    terlebih jika tak ada cermin
    pun jika tak ada isyarat dari yang    lain

Ketiganya seperti satu;
bagi yang punya mata berbeda
bagi yang pura-pura buta
bagi yang hanya dengan sebelah terbuka
Juga bagi yang tengah didera cedera

Prev