Menjelang pertengahan malam, tiba-tiba gempa menggoyang dengan kekuatan 6,2 skala Richter. Gejala alam tersebut seringkali terjadi di negeri ini. Saat gempa berlangsung sebagian orang berlomba-lomba keluar dari bangunan bertingkat, karena khawatir roboh. Ada yang sibuk update status dulu, kemudian menyelamatkan diri. Banyak yang tergopoh-gopoh mencari tempat yang tinggi karena takut terjadi tsunami. Bahkan ada pula yang tidak tahu kalau gempa sedang terjadi, karena asyik dengan aktifitasnya masing-masing.
Namun bagi petugas Badan Penanggulangan Bencana Nasional (akronim: BNPB) ini adalah tugas kemanusiaan yang memerlukan penanganan secepat mungkin. Mereka harus melihat data dan langsung terjun ke lapangan untuk memastikan keadaan. Karena nyawa manusia sangat berharga. Dinas-dinas yang terkait biasanya ikut membantu melancarkan proses penanganan, penampungan dan pendampingan.
Namun gempa kali ini tidak begitu terdengar, hanya setengah hari kemudian pudar. Gelombang berita atau media seakan melebihi kekuatan gempa sehingga mampu mengalihkan gejala alam tersebut ke gejala sosial, politik, hukum dan budaya. Boleh jadi gempa yang menakutkan dan mengkhawatirkan telah pergi jauh, dan diganti hiburan seperti biasa. Sebentar penat, senang sejenak kemudian penat lagi.
Bagi pihak tertentu, gempa ini merupakan musibah atau teguran dari Tuhan. Pihak yang lain beranggapan kalau gempa ini hanya gejala alam biasa. Apa pun tafsiran masing-masing tepat benar sesuai sudut pandang atau alasan dari argumentasinya. Namun bertengkar untuk memperebutkan pihak yang benar -- tidaklah bijaksana, karena pertolongan pertama atau menyelamatkan jiwa korban (tindakan kemanusiaan) lah yang lebih baik.
Entah, bagaimana nasib para korban yang terkena musibah tersebut, kabarnya masih simpang siur. Pastinya mereka sedang merasakan kepedihan, kedinginan, kekhawatiran dan trauma yang mendalam. Untuk itu alangkah lebih elok jika bahu membahu membantu mereka. Walaupun mereka bukan saudara sedarah, sesuku, se-iman, bahasa dan budaya yang berbeda, tetapi masih bersaudara sesama manusia, hamba dan makhluk ciptaan Tuhan.
Perlu kiranya kita mengedepankan rasa persaudaraan, kemanusiaan dan kebersamaan, tanpa menungganginya dengan kepentingan, kedengkian dan kefanatikan. Sehingga situasi dan kondisi akan lebih cepat teratasi dan terkendali. Tentunya semua pihak harus terlibat, baik dengan menjadi relawan, donatur, tim SAR, grup Dapur umum, penjaga tenda pengungsian dan lain sebagainya.
Pada akhirnya, gempa bumi (jawa: lindu) ini suatu saat akan menjadi ladang kerinduan bagi kita semua. Rindu akan indahnya keberagaman dan semangat gotong royong. Namun bukan berarti harus menunggu datangnya sang lindu, baru hidup rukun. Kerukunan merupakan salah satu jalan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan.
Apakah ini terlalu muluk? Tentu tidak, jika kita berani melaksanakannya tanpa menonjolkan biang perselisihan. Tapi akan muluk jika selalu dibenturkan dan tidak diwujudkan. Perbedaan seringkali menjadi duri yang tajam sekaligus momok menakutkan untuk berani menerima keberagaman yang ada. Lantas bagaimanakah kita menyikapinya? Tentunya tergantung pada pribadi masing-masing.
Peristiwa atau tujuan lain seringkali menjadi media pemersatu bagi dua kubu yang sedang berjauhan. Boleh jadi gempa atau lindu kali ini adalah salah satunya. Itulah secuil hikmah di balik semua ini,semoga bisa kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
"Kami merindukanmu wahai Lindu, Tapi kami lebih mengharapkan kerukunan, kebersamaan, kesatuan dan kemajuan, tanpa kehadiranmu"