"Menyusuri Jejak"

Perjalanan adalah untaian pengalaman yang mengisahkan suatu misteri, peristiwa, proses, perjuangan, kenangan dan harapan. Kadang kala berjumpa dengan yang diharapkan dan diimpikan. Namun terkadang pula situasi dan kondisinya tidak sesuai, tiba-tiba hadir dalam kehidupan kita.

Sepanjang jalan yang penulis lalui, banyak tempat dan peristiwa yang bisa diamati dan dinikmati. Kampus yang megah dengan bangunan intelektual, spiritual dan ruang aktualisasinya. Sekitarnya banyak kos dan kontrakan yang penuh oleh orang yang berdomisili sementara baik untuk mencari ilmu atau bekerja. Sebelah kanannya terdapat toko kecil dan ruko bersebelahan dan di seberangnya ada mall,sehingga tampak adanya romansa persaingan. Entah yang mana yang akan mampu bertahan, tinggal menunggu waktu.

Setelah itu kendaraan yang kami tumpangi menambah lajunya, dipinggir jalan terlihat pengemis yang menengadahkan tangan kepada orang yang ditemui.  Pengamen melantunkan lagu dengan suara merdu dengan iringan bunyi gitar, jimbe dan ecek-ecek. Sedang rekannya yang lain keliling menghampiri pendengar sembari mengais uang recehnya. Terkadang yang dihampiri ikut bernyanyi seperti menikmati.

Kendaraan kami berhenti di pertigaan lampu merah. Polisi lalu lintas asyik mengatur lalu lalang kendaraan supaya lancar, karena seringkali terjadi kemacetan. Apalagi pagi hari saat itu merupakan weekend dan sedang ada karnaval. Jalan yang kapasitasnya bertambah sedikit tidak diimbangi dengan membeludaknya jumlah kendaraan yang turun ke jalan.

Lampu hijau pun menghitung mundur, kendaraan kami berangkat lagi. Di sebelah kiri kami sedang ada pembangunan perumahan elit. Bukan untuk kalangan kelas bawah namun bagi kalangan menengah ke atas. Tukang bangunan sibuk mendandaninya sesuai rencana awal. Padahal saat ini harga material dan kayu sedang melonjak tinggi, seperti naiknya harga daging saat bulan puasa. Naiknya cepat, tetapi turunnya lama. Maklum ikut merasakan dampaknya, hehehe.

Kemudian sekitar 20 meter terdapat rumah tua seperti tiada penghuninya. Temboknya tampak lusuh, rumputnya tinggi, kembagnya seolah tidak terawat, dan kursi di teras kotor dan tidak tertata. Sebelah rumah itu ada tanah lapang seperti lapangan sepakbola, namun tiang gawangnya berkarat seolah jarang dipakai. Rumput yang tumbuh di lapangan tersebut terbilang subur, yang di dalam garis tingginya hingga di atas mata kaki, sedangkan yang di luarnya setinggi lutut orang dewasa.

Dalam diam penulis memikirkan kondisi sepakbola di negeri ini. Tempat latihannya ada tetapi tidak bisa dipakai karena belum rampung dan kesandung kasus. Tempat pemusatan latihan yang digadang-gadang menjadi ikon baru tersebut sampai sekarang masih belum jelas nasibnya. Pengurus lembaga olahraga yang melontarkan jargon "Di dalam tubuh yang sehat, terdapat jiwa yang sehat" tersebut, justru kasusnya tidak sehat. Tetapi tidak semuanya yang seperti itu, hanya segelintir oknum saja.

Kemudian di seberang jalan ada kantor dinas, yang bersebelahan dengan sekolah SD, SMP dan SMA, yang gerbangnya baru dibuka. Hanya ada pak kebun yang sedang bertugas, mengalahkan pejabat dinas yang kadang-kadang telat datang walau ada rapat tentang nasib rakyat. Tukang kebun seperti pegawai sungguhan yang berwenang mengurusi keindahan dan tatanan lingkungan. Seperti biasa di depan pagar, ada pedagang kaki lima yang berderetan.

Sepanjang trotoar, gerobak mereka menawarkan jajanan ringan untuk semua kalangan, harganya pun terjangkau. Pembeli yang datang mengantri seperti antrian BBM ketika sedang mengalami kelangkaan, akibat merebaknya wacana kenaikan harga bahan bakar kendaraan. Padahal banyak yang 'nakal' menumpuk bahan bakar itu dalam jumlah banyak di gudang-gudang kosong, sehingga kelangkaan pun terjadi, hampir setiap tahun seperti itu. Antrian seperti ini sudah biasa, namun tetap budaya tertib masih dipegang oleh warga, sambil menunggu mereka bertukar cerita.

penulis merasa seperti kembali ada kenangan masa pelajar dulu. Setelah beli jajanan kemudian duduk di depan kelas untuk menyantap bersama-sama. Tertawa, bercanda ria dan bermain bersama, karena saat itu, belum ramai yang punya gadget, hehehe. Kalau sekarang kan bisa main game sendiri meskipun sedang berkumpul dengan teman-teman.

Setelah itu, penulis melihat pondok di sebelah kiri jalan. Santri-santrinya memakai peci hitam dan sarung, dengan kitab dan polpen di tangannya. Mereka berasal dari berbagai daerah, sehingga karakter, bahasa dan coraknya berbeda-beda. Ada yang diantar keluarganya dan ada juga yang tidak. Mereka belajar ngaji, hidup mandiri dan mengabdi di lingkungan pondok tersebut.

Beberapa meter dari pondok tersebut ada pabrik gula. Seperti biasa, pabrik tersebut ramai dengan antrian truk pembawa tebu. Sopirnya rela menunggu sambil merokok tapi tidak meninggalkan truknya. Namun Ada pula yang mengantri dengan istirahat di warung kopi atau di tempat lain. Tanpa mereka mungkin kita tidak bisa menikmati manisnya gula.

Meski harga gula di pasaran merangkak naik tetapi tidak membuat status ekonomi mereka ikut naik. Para Petani memasrahkan hasil panennya ke pabrik melalui beberapa tahapan, yang cenderung mencekik mereka. Apalagi jika ada permainan pasar yang tidak sehat. Sepertinya bukan hanya komoditas tebu yang mengalami fenomena ini. Padahal ada yang bilang kalau kita negara 'agraria' dan 'maritim', tetapi masih kesulitan mendapatkan bahan-bahan pokok, seperti beras dan gula. Bahkan pemerintah masih (sering) membuka kran impornya dengan lebar. Bisa dikatakan bahwa faktor penentunya terlalu banyak dan rumit.

Ketika angin yang bertiup bertambah kencang, tiba-tiba truknya berguncang karena jalannya bergelombang. Sontak seketika teman-teman perempuan berteriak, yang tidur menjadi terbangun, sedang yang laki-laki sebagian sholawat dan bernyanyi. Seolah truknya menjadi tempat konser artis luar negeri yang sering diikuti (menjadi tren setter) oleh anak muda. Kalau tidak mengikuti tren katanya tidak kekinian.

Saat itu terjadi, penulis melihat di sebelah kiri ada masjid jami' dengan ukiran kaligrafi di dindingnya. Ternyata masjid itu pernah menjadj posko pengabdian masyarakat (akronim: PM) oleh mahasiswa UIN Malang. Masjid tersebut tempat dilaksanakan pengajian rutinan, kegiatan keagamaan dan diniyah oleh warga setempat. Gerbangnya terbuka bagi pendatang yang mau beribadah dan beristirahat sejenak dari perjalanan jauh.

Tidak jauh dari sana, ada jembatan yang besinya telah berkarat. Melihat kondisinya, jembatan tersebut dibangun sudah puluhan tahun. Di bawahnya, sungai mengalirkan air ke sawah milik petani. Konon dahulu airnya bisa dipakai mandi dan minum, karena masih bersih dan bening. Namun saat ini sudah jauh berbeda, penuh dengan lumpur dan sampah yang dibuang ke sana.

Setelah melewati jembatan, kami melihat sawah dengan hamparan padi, pohon pisang, rumput gajah dan petani yang istirahat bersama istri dan anaknya di rumah-rumahan sawah yang beratapkan jerami. Kakinya masih menyisakan lumpur kering yang tampak putih. Mereka makan bersama dengan lauk seadanya, tapi wajahnya tampak bahagia, berseri-seri dan energinya pun kembali. Sosoknya pun mengendap di balik daun-daun, ketika kami melewati kebun di sebelah kiri dan kanan kami.

Udara segar dan sejuk ketika melewati kebun muncul dari rindangnya pepohonan dan semak belukar. Warna daunnya masih hijau dan tanamannya beragam. Berbeda dengan di pusat kota, hutan beton, kaca dan plastik mengganti tanaman organik. Kemudian sampailah kami di bibir pantai. Angin laut, pasir dan batu karang menyapa dengan tenang. Tidak terkecuali debur ombak yang bernyanyi gembira.

Di sana keakraban, kebersamaan dan persaudaraan kami terasa meski hanya dengan permainan sederhana dan kumpul bersama. Asal, bahasa, warna kulit dan jabatan memang berbeda, namun dalam bingkai yang sama; satu rasa, cita dan nuansa, seolah tiada yang berbeda. Semua saling membantu, mendukung, melebur dan belajar bersama.

Kekurangan anggota yang lain ditutupi dengan kelebihan yang lain, melalui tegur sapa dan kerjasama. Sesuatu yang terlupa untuk dibawa, mulai dipikirkan dan diselesaikan bersama. Keriuhan, kebimbangan, keburu-buruan, keletihan, dan kejengkelan terkadang terlukis di raut wajah mereka. Namun hanya menjadi bumbu semata, tanpa memendamnya berlarut-larut. Karena semua itu larut bersama cerita, suara, canda tawa, dan usaha mereka.

Mereka mencontohkan adanya miniatur kecil sebuah negara. Negara yang pemerintah, rakyat, perangkat dan sistemnya berjalan beriringan, bergandengan dan terintegrasi dengan baik untuk tujuan tertentu. Bukan yang mengagungkan kekuasaan, memperlebar gap dan perselisihan, membiarkan ketimpangan dan ketidakadilan, membiasakan kecurangan dan saling menjatuhkan, serta menghilangkan kepercayaan di antara mereka dan meninggalkan tujuan utama.

Seperti biasa akhir acara ditutup dengan foto bersama, ibadah berjamaah, kemas barang bergotong royong, mandi dan kumpul lagi. Kemudian satu persatu naik truk, dimana yang takut atau tidak bisa naiki truk, dibantu oleh teman-temannya yang lain. Sebelum berangkat semua berdoa dan bersholawat. Dan akhirnya beranjak pulang.

Malam bertambah gelap, peserta sebagian tidur, sementara yang lain bertukar cerita dan bernyanyi bersama. Sedangkan penulis sibuk melihat kiri dan kanan jalan. Keluar dari hutan, sebuah desa mengalami pemadaman serentak. Akhirnya mereka terpaksa menggunakan lampu minyak sebagai penerangan. Sehingga menambah romantisnya suasana desa.

Sejenak ku terlelap dan terbangun ketika truk memasuki kota. Warung-warung pinggir jalan mulai ramai dengan pengunjung sendirian dan berpasangan. Gerobak nasi goreng, sempol, cilok, jus, martabak, dan aneka kuliner lain seakan tidak mau ketinggalan. Jalanan pun semakin macet karena banyaknya kendaraan yang tumpah ke jalan, dan trotoar penuh sebagai cabang parkiran.

Kuliner di kota memang beraneka rupa dari tradisional hingga kekinian, baik yang berada di restauran, foodcourt, kantin, warung remang-remang, kedai kecil, warkop, mall, dan warung makan pinggir jalan. Wajah malam di kota cenderung ramai hingga menjemput pagi. Begitulah seterusnya, sehingga banyak orang kota yang merindukan suasana desa dan destinasi wisata.

Malam dan pagi dengan segala gejala dan isinya memberikan warna tersendiri. Itulah untaian kisah yang kami lalui. Jejak langkah tidak berhenti sampai di sini, dari bangun lalu tidur, dan bangun lagi. Semoga ada Hikmah di balik semua ini.