"Batas Samar di Antara Kita"

Belakangan ini tersiar kabar akan ada aksi besar-besaran di Ibukota, Jakarta. Aksi yang akan berlangsung pada 4 November 2016 mendatang bertemakan aksi bela islam, menolak penistaan agama. Hal ini didasari pernyataan gubernur Jakarta, biasa disapa Ahok, beberapa waktu lalu. Massa yang akan turun jalan tersebut berkisar antara ratusan bahkan ribuan orang. Berapa pun jumlahnya akan terasa nantinya.

Menurut penulis, pesertanya adalah kebanyakan orang islam, namun boleh jadi ada penumpang lain yang ikut-ikutan. Penumpang ideologis, organis bahkan praktis. Sepertinya pakaian yang menunjukkan identitas mereka ketika turun jalan hari itu adalah berwarna putih. Latar belakang pemilihan warna pakaiannya hanya yang mengkonsep dan yang ikutlah yang lebih tahu. Yang penulis bisa katakan, "bukan unsur kebetulan".

Mendengar kabar tersebut, aparat berwenang sudah bersiap-siap merapatkan barisan untuk menerjunkan personilnya. Tidak mau ketinggalan, media sudah mempertimbangkan angle berita yang akan diangkat dan disiarkan. Masyarakat sekitar pun sudah berpikir untuk mencari jalan alternatif agar tidak kena macet. Padahal jakarta sudah terbiasa dengan kemacetan. Pedagang pinggir jalan juga sudah menambah kuantitas barang dagangannya, karena berharap mendapat tambahan penghasilan dari massa yang datang.

Kalau terjadi aksi pada hari itu, sudah dipastikan jakarta menjadi tambah ramai. Atribut dan sorak-sorai jargon yang diluapkan ke udara tidak hanya tersiar di sekitar ibu kota, melainkan hingga ke pelosok desa. Orang-orang yang awalnya membicarakan persoalan air yang macet, banjir yang meluap ke bahu jalan, sawah yang gagal panen, pemilu yang sebentar lagi tiba, kasus pembunuhan jesica-mirna, koruptor yang tertangkap basah, pejabat yang melakukan pungli, mahasiswa yang menuntut kasus kejahatan HAM, beralih ke bahasan terkait aksi itu. Aksi tersebut seakan menjadi magnet baru di awal november ini.

Mengingat ramainya obrolan terkait aksi tersebut, perlu kiranya kita menepi bersama sunyi dan merenungkan kembali apa yang sebenarnya terjadi. Pergi camping bersama keluarga atau teman ke pantai atau gunung yang lebih sepi dan udaranya menyegarkan, menjadi pilihan. Di tempat itu kita bisa menghilangkan penat, mempererat persaudaraan, belajar memahami orang lain, belajar kesederhanaan, menghargai perbedaan, menikmati perjalanan, kebersamaan, suasana alam dan bermain bersama.

Daripada menyebar ujaran kebencian, menebar virus berbau SARA, merusak ketertiban dan fasilitas umum, membenci satu sama lain, memperluas pertikaian dan keberpisahan, dan terlebih lagi merongrong kedaulatan negara. Di satu sisi kita bisa puas dengan perlakuan kita, namun di sisi lain bisa mengganggu orang lain. Bukankah kita juga tidak senang diperlakukan seperti itu.

Hal ini penulis sampaikan karena di beberapa media sosial (akronim: medsos) sudah ada yang menghujat Ahok habis-habisan. Pihak lain yang pro Ahok mendukungnya habis-habisan pula. Pengguna medsos seakan terpecah ke dalam dua kubu yang entah diinginkan secara sadar apa tidak, tapi itulah yang terjadi. Sehingga gesekan antara keduanya masih terus terjadi dan boleh jadi berdampak ke orang lain di luar kubu itu.

Namun penulis membayangkan kalau ada keterkaitan dengan isu-isu lain yang lebih serius, boleh dikatakan ini bukanlah masalah sepele. Namun jika tidak ada hubungannya dengan yang lain, ini bisa segera diselesaikan oleh pihak yang menuntut dan yang dituntut dengan cara damai atau jalan hukum, tanpa mengikut sertakan masyarakat luas. Karena kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan sendiri atau golongannya.

Penulis berharap apapun yang terjadi sebelum dan sesudah aksi tersebut, tidak membuat kita kian anarkis, arogan, tidak adil, merasa paling hebat dan benar, terpecah belah, tidak suka berdialog, saling menjatuhkan, suka diadu domba dan mencari kambing hitam serta berbalik arah menjauhi norma dan ajaran yang selama ini kita yakini masing-masing. Aksi tersebut disadari atau tidak, akan mengukir sejarah di negeri ini. Sejarah yang kita buat dan saksikan sendiri, apa pun itu. Entah hari ini, esok hari atau lusa nanti.

"Mari kita sama-sama untuk tidak berhenti mengintrospeksi diri, belajar lagi, dan kembali"