Senyawa Alkaloida

-->
Senyawa Alkaloida
1.Pendahuluan
Alkaloida yang disebut tidak mewakili golongan dari segi kimia bersifat homogen. Semuanya mengandung nitrogen yang sering kali terdapat dalam cincin heterosiklik, tetapi tidak semuanya, bersifat basa seperti yang ditunjukkan oleh namanya.
Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain berdasarkan sifat basanya. Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering dilakukan di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas, berupa senyawa padat berbentuk kristal tanpa warna. Beberapa alkaloida berupa cairan, dan alkaloida yang berwarnapun langka (Berberina dan Terpentina berwarna kuning). Alkaloida sering bersifat aktif optik, dan biasanya hanya satu dari isomer optik yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa hal dikenal campuran rasemat, dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya. Fungsi dari alkaloida belum dapat dipastikan dengan baik untuk beberapa jenis alkaloida, walaupun telah kita ketahui bahwa turunan-turunan dari pirimidin, purin dan pterin memainkan peranan yang sangat baik dalam proses kehidupan manusia. Semua alkaloida dapat dibuat dari poliketida asam sikimat atau bagian dari senyawa asam mevalonat yang digabung dengan asam amino, yang secara otomatis dapat memberikan sebuah sistematisasi yang tinggi secara rumus dan struktural yang akan menghasilkan suatu senyawa. Dengan kata lainnya, komponen asam amino membentuk karakter dari alkaloida dan klasifikasinya dapat dibuat dengan baik berdasarkan bentuk morfologinya. Alkaloida juga digunakan sebagai penyebab proses solusi dan biogenetik dibandingkan dengan beberapa jenis asam amino yang merupakan pembentuk alkaloida, seperti glisin (di dalam pembentuk N-heterosiklik), asam glutamat, ornitin, lisin, fenilalanin, tirosin, triptofan dan asam antralin. Kebanyakan alkaloida dapat ditemukan di dalam segala jenis tumbuhan, dari tumbuhan tingkat tinggi sampai ke mikroorganisme. Beberapa alkaloida dapat ditemukan dalam hewan, dan alkaloida juga dapat ditemukan di dalam biota laut ( Robinson, 1995 ).
Sejak dahulu kala alkaloida telah digunakan dalam berbagai hal. Kebanyakan alkaloida digunakan sebagai suatu zat beracun yang dapat menyebabkan kematian seperti strysin. Strysin telah digunakan sebagai suatu zat pembunuh selama beberapa abad dan juga merupakan suatu zat yang menyebabkan kematian pada beberapa jenis unggas. Strysin merupakan suatu zat yang dapat merusak sel-sel tubuh yang lama-kelamaan dapat menyebabkan kematian. Koniin didalam Conium maculatum digunakan oleh orang-orang Yunani untuk hukuman eksekusi, dan Sokrates adalah pemimpin Yunani yang sering menggunakannya. Beberapa `lkaloida dapat menyebabkan halusinasi seperti grup opium di dalam Papaver somniferum, turunan-turunan dari asam lisergis dalam tumbuhan Claviceps purpurea, sebuah tumbuhan parasit ( Torssell, 1983 ). 2.2.2. Sifat-Sifat Alkaloida Alkaloida sebagai golongan dibedakan dari sebagian besar komponen tumbuhan lain berdasarkan sifat basanya (kation). Oleh karena itu senyawa ini biasanya terdapat dalam tumbuhan sebagai garam berbagai asam organik dan sering ditangani di laboratorium sebagai garam dengan asam hidroklorida dan asam sulfat. Garam ini dan alkaloida bebas yang terdapat di alam, berupa senyawa padat berbentuk kristal tidak berwarna. Ada beberapa alkaloida berupa cairan dan ada juga alkaloida yang berwarna yaitu berberina dan serpentina berwarna kuning. Alkaloida pada umumnya bersifat optis aktif, dan biasanya hanya satu dari isomer optik alkaloida yang dijumpai di alam, meskipun dalam beberapa kasus dikenal campuran rasemat; dan pada kasus lain satu tumbuhan mengandung satu isomer sementara tumbuhan lain mengandung enantiomernya.
Alkaloida adalah senyawa organik yang mengandung nitrogen (biasanya dalam bentuk siklik) dan bersifat basa. Senyawa ini tersebar luas dalam dunia tumbuh - tumbuhan dan banyak diantaranya yang mempunyai efek fisiologi yang kuat. Beberapa dari efek tersebut telah dikenal dan dimanfaatkan oleh manusia primitif jauh sebelum Ilmu Kimia Organik berkembang. Alkaloida Cinchonaf yang terkandung dalam kulit pohon dari spesies Cinchona dan Remijia misalnya telah dikenal oleh penduduk asli dipegunungan Andes, Kuinin yang merupakan salah satu konstituen utama dari ekstrak kulit kayu tersebut, laporkan telah dikenal sebagai anti malaria yang efektif sejak tahun 1633. Karena banyaknya senyawa alkaloida serta keterkaitannya dengan bidang lain seperti farmasi, sebenarnya dunia alkaloida memerlukan satu bidang tersendiri. Secara umum, golongan senyawa alkaloida mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Biasanya merupakan kristal tak berwarna, tidak mudah menguap, tidak larut dalam air, larut dalam pelarut-pelarut organik seperti : eter, etanol dan juga koroform. Beberapa alkaloida (seperti koniina dan nikotina) berwujud cair dan larut dalam air. Ada juga alkaloida yang berwarna misalnya berberina (kuning).
2. Bersifat basa; pada umumnya berasa pahit, bersifat racun, mempunyai efek.
3. Dapat membentuk endapan dengan larutan asam fosfowolframat, asam fosfomolibdat, asam pikrat, kalium merkuriiodida dan lain sebagainya. Dari endapan-endapan ini, banyak juga yang memiliki bentuk kristal yang khusus sehingga sangat bermanfaat dalam identifikasinya ( Rangke, 1983 ).
2.2.3. Deteksi Alkaloida
Cara yang dianjurkan adalah :
(a) Deteksi pendahuluan Karena secara kimia alkaloida begitu heterogen dan begitu banyak, maka tidak dapat diidentifikasi dalam ekstrak tumbuhan dengan menggunakan kromatografi tunggal. Pada umumnya sukar mengidentifikasi alkaloida dari sumber tumbuhan baru tanpa mengetahui kira-kira jenis alkaloida apa yang mungkin ditemukan dalam tumbuhan tersebut. Di samping itu, karena kelarutan dan sifat alkaloida sangat berbeda-beda, cara penyaringan umum untuk alkaloida dalam tumbuhan mungkin tidak akan berhasil mendeteksi senyawa khas. Sebagai basa, alkaloida biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1 M atau asam asetat 10 %), kemudian diendapkan dengan amonia pekat. Pemisahan pendahuluan demikian dari bahan tumbuhan lainnya dapat diulangi, atau pemurnian selanjutnya dapat dilaksanakan ekstraksi pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloida pada pada ekstrak kasar yang demikian dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloida. Tetapi sebaiknya dilakukan KKt dan KLT dalam beberapa pengembang umum yang dapat digunakan, dan kemudian kertas serta plat disemprot dengan penampak bercak untuk alkaloida.
(b) Langkah kerja Ekstraksi jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, biarkan sekurang-kurangnya empat jam. Pekatkan ekstrak sampai seperempat volume asal dan endapkan alkaloida dengan meneteskan NH4OH 1 %. Larutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau kloroform.
(c) Identifikasi selanjutnya Bila sumber alkaloida dalam sumber tumbuhan telah ditentukan, selanjutnya diisolasi basanya yang agak banyak, dan dibandingkan dengan cuplikan autentik, dengan sederetan cara kromatografi dan spektrometri ( UV, IR, MS, 1H-NMR ). Secara klasik alkaloida dipisahkan dari kandungan tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat. Dalam laboratorium mutakhir, alkaloida dipisahkan dan diisolasi dengan beberapa gabungan cara : KKt, KLT, kolom, atau KGC. Kromatografi kolom pada silikat, biasa dilakukan, tetapi cara mana yang dipakai tergantung terutama pada jenis alkaloida yang diperiksa. Alkaloida tembakau atau Cytisus, yang lebih bersifat atsiri, mungkin paling baik dipisahkan secara KGC, sedangkan alkaloida berbobot molekul tinggi dari opium atau dari Secale cornutum (ergot) paling baik diperiksa secara KLT.
(d) Penentuan kuantitatif Dahulu, berbagai cara yang sering didasarkan pada terjadinya warna telah dirancang untuk menganalisis masing-masing alkaloida. Satu cara khas telah dikemukakan untuk menganalisis alkaloida steroida, solanina. Pada penelitian yang lebih mutakhir, KGC atau KCKT digunakan untuk alkaloida yang lebih atsiri. KGC sering digabung dengan MS untuk bermacam-macam penentuan kuantitatif dan identifikasi alkaloida, misalnya untuk seri pirolzidina. Cara MS baru telah ditemukan, contohnya, MS berurutan dua tandem yang mengidentifikasi langsung masing-masing komponen dalam campuran alkaloida sejenis. Cara ini cukup peka untuk mendeteksi cuplikan yang beratnya di bawah ukuran mikrogram.
(e) Penjaringan tumbuhan untuk mendapatkan alkaloida Berbagai macam cara untuk mendeteksi alkaloida dalam jaringan tumbuhan telah dikemukakan. Kesemuanya mencakup secara ekonomis berbagai jenis tumbuhan tinggi untuk mendapatkan bahan obat yang bermanfaat. Boleh jadi tumbuhan lebih banyak sudah diteliti untuk memeriksa adanya alkaloida, dibandingkan dengan untuk memeriksa adanya kandungan sekunder lain. Ada cara khas yang digunakan oleh Hulti dan Torsell (1965) untuk menjaring 200 suku tumbuhan Swedia. Mereka melakukan ekstraksi pendahuluan 4 g jaringan kering setiap cuplikan dengan metanol. Larutan air dari bagian yang larut asam dari fraksi metanol ini dibasakan dengan NH4OH pekat, kemudian diekstraksi dengan kloroform-etanol. Ekstrak kemudian diuji akan adanya alkaloida dengan memakai enam pereaksi, dan adanya alkaloida hanya dicatat bila keenam pereaksi itu semuanya memberikan reaksi positif. Pada penelitian anggrek (Luning, 1967), manganjurkan untuk memeriksa jaringan segar, karena tumbuhan ini sukar mengering dan selama pengeringan alkaloida mungkin rusak atau mendamar. Karena menggunakan jaringan segar, penjaringan dapat dilakukan di lapangan, menggunakan salah satu dari berbagai perangkat uji yang mudah dibawa yang telah dirancang untuk keperluan demikian.
2.2.4. Isolasi Alkaloida
Ada beberapa metode yang digunakan untuk mengisolasi senyawa alakoida a. Isolasi senyawa alkaloida menurut metode Hess Sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan eter selama tiga hari dalam alat soklet, lalu endapan dilarutkan dengan ammonia. Endapan diekstraksi lagi dengan pelarut lain misalnya kloroform, kemudian dipisahkan melalui kromatografi kolom dengan adsorben silika gel dan benzena-kloroform sebagai pengelusi. b. Isolasi alkaloida menurut metode BT. Cromwell Sampel tumbuh-tumbuhan dikeringkan dan dihaluskan, kemudian diekstraksi dengan HCl 0,2 M dalam etanol, biarkan kira-kira 10 jam pada temperatur 60 0C, kemudian saring dalam keadaan panas, ampas dicuci kembali dengan pelarut yang sama sampai menunjukkan test negatif terhadap pereaksi alkaloida. Ekstrak yang diperoleh didinginkan dan dibiarkan selama 12 jam, kemudian disaring dan filtrat yang diperoleh ditambahkan NH4OH(p) sampai pH 10, kemudian didinginkan selama 24 jam pada temperatur kamar. Endapan dipisahkan kemudian dilarutkan dalam kloroform lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh dipekatkan dan residunya dipisahkan untuk memperoleh alkaloida dengan kromatografi.
c. Isolasi senyawa alkaloida menurut metode Harborne
Ekstraksi jaringan kering dengan asam asetat 10% dalam etanol, biarkan sekurang- kurangnya empat jam. Pekatkan ekstrak sampai seperempat volume asal dan endapkan alkaloida dengan meneteskan NH4OH pekat. Kumpulkan endapan dengan pemusingan, cuci dengan NH4OH 1%. Larutkan sisa dalam beberapa tetes etanol atau kloroform. Kromatografi sebagian larutan pada kertas dapar asam sitrat dalam air. Kromatografi sebagian lain pada pelat silika gel G dalam metanol:NH4OH pekat (200:3). Deteksi adanya alkaloida pada kertas dan pelat, mula-mula dengan flouresensi dibawah sinar UV, kemudian menggunakan penyemprot pereaksi Dragendorff (Harborne, 1987). Biosintesis Alkaloida Prekursor alkaloida yang paling umum adalah asam amino, meskipun sebenarnya, biosintesis alkaloida lebih rumit. Secara kimia, alkaloida merupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa sederhana seperti koniina, yaitu alkaloida utama. Conium maculatum, sampai ke struktur pentasiklik seperti strikhnina, yaitu racun kulit Strychnos. Amina tumbuhan (misalnya kafeina) kadang-kadang digolongkan sebagai alkaloida dalam arti umum (Manito,1992).
Pada umumnya alkaloida diekstraksi dari tumbuhan sumbernya melalui proses sebagai berikut:
1. Tumbuhan (daun, bunga, buah, kulit atau akar) dikeringkan, lalu dihaluskan.
2. Alkaloida diekstraksikan dengan pelarut tertentu, misalnya dengan etanol, kemudian pelarutnya diuapkan.
3. Residu yang diperoleh diberi asam anorganik untuk menghasilkan garam ammonium kuaterner; kemudian diekstraksikan kembali.
4. Garam N+ yang diperoleh direaksikan dengan Natrium Karbonat sehingga menghasilkan alkaloida-alkaloida yang bebas kemudian diekstraksi dengan pelarut tertentu seperti eter, kloroform atau pelarut lainnya.
5. Campuran alkaloida-alkaloida yang diperoleh akhirnya diisolasi melalui berbagai cara, misalnya dengan metode kromatografi. Sebagaimana telah dikemukakan, alkaloida diperoleh dari tumbuh-tumbuhan namun, ada juga yang dibuat sintesis, misalnya efedrina dan papaverina ( Rangke, 1983 ).
2.2.5. Klasifikasi Alkaloida
Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloida, jelas kiranya bahwa alkaloida sebagai kelompok senyawa. Banyak usaha untuk mengklasifikasikan alkaloida. Sistem klasifikasi yang paling banyak diterima, menurut Hegnauer, alkaloida dikelompokkan sebagai (a) alkaloida sesesungguhnya, (b) protoalkaloida, (c) pseudoalkaloida.
(a) Alkaloida Sesungguhnya.
Alkaloida sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan aktivitas fisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa, lazim mengandung nitrogen dalam cincin heterosiklis, diturunkan dari asam amino, biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam organik. Beberapa pengecualian terhadap aturan tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklis dan alkaloida kuartener, yang bersifat agak asam.
(b) Protoalkaloida
Protoalkaloida merupakan amin yang relatif sederhana dalam mana nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklis. Protoalkaloida diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa. Pengertian amin biologis sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh adalah meskalin, efedrin , dan N, N-dimetiltriptamin .
(c) Pseudoalkaloida
Pseudoalkaloida tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloida yang penting dalam klas ini, yaitu alkaloida stereoidal (contoh, konessin) dan purin (contoh, kaffein ) ( Sastrohamijojo, 1996 ). Senyawa alkaloida dapat diklsifikasikan dari segi sumber atau dari segi gugus fungsi yang dikandungnya. Klasifikasi berdasarkan gugus fungsi adalah sebagai berikut:
1. Alkaloida feniletilamina, misalnya efedrina,
2. Alkaloida pirolidina, misalnya higrina dari koka.
3. Alkaloida piridina, misalnya nikotina.
4. Alkaloida perpaduan pirolidina dan piridina, misalnya nikotina.
5. Alkaloida kuinolina, misalnya kinina.
6. Alkaloida isokuinolina, misalnya papaverina.
7. Alkaloida fenantrana, misalnya morfin.
8. Alkaloida indole yang masih dapat digolong- golongkan menjadi:
a. Alkaloida sederhana, misalnya triptamina
b. Alkaloida ergot, misalnya serotonina
c. Alkaloida Harmala, misalnya s-karbolina
d. Alkaloida Yohimbe, misalnya reserpina
e. Alkaloida Strychnos, misalnya brusina dan striknina.( Rangke, 1983).
Dari beberapa alkaloida yang telah ditemukan, kita dapat melihat letak dari atom Nitrogen yang membuat alkaloida bersifat basa. Ada beberapa alkaloida yang mempunyai atom Nitrogen lebih dari satu, dan ada juga pengecualian yang diberikan pada beberapa senyawa alkaloida yang mempunyai fungsi yang khas, dan juga jika elemen penyusun alkaloida yang lainnya khas, seperti alkaloida, steroidal, terpena, spermidina, spermina, alkaloida peptida. Berdasarkan hal diatas maka kita dapat membuat suatu klasifikasi dari alkaloida, yaitu :
1. Alkaloida Heterosiklik, dimana pada alkaloida jenis ini atom Nitrogen berada pada cincin hetrosikliknya. Contohnya: Alkaloida pirolidina, Alkaloida indol, Alkaloida Piperidina, alkaloida pyridina, alkaloida Tropana, Histiana, Imidazola dan juga alkaloida isokuinolina.
2. Alkaloida dengan atom Nitrogen eksosiklik (atom Nitrogen berada diluar cincin heterosiklis dan alkaloida Spermina). Contohnya: Casseina, Epehedrina, Capsaicina, Uvariosamina.
3. Alkaloida Putrescina, Alkaloida Spermidina dan Alkaloida Spermina, ketiga jenis alkaloida ini merupakan amina biogenetik, akan tetapi turunan-turunannya (kebanyakan mengandung residu asam lemak atau asam sinamat) merupakan suatu alkaloida. Contohnya Paucino yang merupakan turunan dari Pentaclethra sp, dan Inandenina yang merupakan turunan dari Oncinotis sp
4. Alkaloida peptida, merupakan suatu bagian grup peptida yang bersifat basa, yang telah dianggap merupakan suatu jenis alkaloida, misalnya ergot, integerrina, yang mengandung asam amino triptopan.
5. Alkaloida diterpena, dimana alkaloida monoterpena dan seskuiterpena telah dianggap sebagai alkaloida pirolidina, pipridina. Contoh alkaloida diterpena adalah Veatchina, Atisina, Aeonitina, Heteratisina.
6. Alkaloida Steroidal, merupakan jenis alkaloida dengan bentuk cincin seperti steroida dengan atom Nitrogen yang bergabung. Alkaloida steroidal dapat berada baik pada hewan ataupun tumbuh-tumbuhan. Samandarino merupakan alkaloida yang berasal dari hewan. Contoh alkaloida steroidal yaitu : Paravallarina, Terminalina, Conessina, Solasodina ( Manfred Hesse, 1995) .
2.3. Teknik Pemisahan
2.3.1. Pemisahan
Pemisahan adalah keadaan hipotesis dari suatu pemisahan sempurna, m dipisahkan dari unit makroskopik, dimana m merupakan komponen kimia penyusun dari campuran. Dengan kata lain, tujuan dari proses pemisahan adalah mengisolasi komponen kimia m dari bentuk aslinya, ke dalam tabung tempat hasil m dipisahkan, misalnya gelas vial atau botol polietilena. 2.3.2. Ekstraksi Ekstraksi dapat dilakukan dengan metoda maserasi, perkolasi, dan sokletasi. Sebelum ekstraksi dilakukan, biasanya serbuk tumbuhan dikeringkan lalu dihaluskan dengan derajat kehalusan tertentu, kemudian diekstraksi dengan salah satu cara di atas. Ekstraksi dengan metoda sokletasi dapat dilakukan secara bertingkat dengan berbagai pelarut berdasarkan kepolarannya, misalnya : n.heksana, eter, benzena, kloroform, etil asetat, etanol, metanol, dan air. Ekstraksi dianggap selesai bila tetesan ekstrak yang terakhir memberikan reaksi negatif terhadap pereaksi alkaloida. Untuk mendapatkan larutan ekstrak yang pekat biasanya pelarut ekstrak diuapkan dengan menggunakan alat rotari evaporator (Harborne, 1987 ).
2.3.3. Kromatografi
Penjelasan terperinci tentang kromatografi pertama kali diberikan oleh Michael Tswett, seorang ahli botani Rusia yang bekerja di Warsawa. Pada tahun 1906, dia mengumumkan pemberian pemisahan klorofil dan pigmen lainnya dalam suatu seri tanaman. Larutan eter petroleum yang mengandung cuplikan diletakkan pada ujung atas tabung gelas sempit yang telah diisi dengan serbuk kalsium karbonat. Ketika ke dalam kolom itu dituangi eter petroleum maka akan terlihat bahwa pigmen-pigmen itu terpisah dalam beberapa daerah. Setiap daerah bewarna itu diisolasi dan diidentifikasi senyawa penyusunnya. Adanya pita bewarna itu maka dia mengusulkan nama gkromatografih yang berasal dari bahasa Yunani gkromatosh yang berarti warna dan ggraphosh yang berarti menulis.
Sekarang kromatografi mencakup berbagai proses yang berdasarkan pada perbedaan distribusi dari penyusun cuplikan antara dua fasa. Satu fasa tetap tinggal pada sistem dan dinamakan fasa diam. Fasa lainnya, dinamakan fasa gerak, memperkolasi melalui celah-celah fasa diam. Gerakan fasa gerak menyebabkan perbedaan migrasi dari penyusunan cuplikan. Ada beberapa cara dalam mengelompokkan teknik kromatografi. Kebanyakan berdasarkan pada macam fasa yang digunakan (fasa gerak-fasa diam), misalnya kromatografi gas dan kromatografi cairan. Cara pengelompokan lainnya berdasarkan mekanisme yang membuat distribusi fasa. Disini metoda kromatografi sebagian dikelompokkan berdasarkan macam fasa yang digunakan dan sebagian lain berdasarkan pada mekanisme pada distribusi fasa. Kromatografi cairan-padat atau kromatografi serapan, ditemukan oleh Tswett dan dikenalkan kembali oleh Khun dan Lederer pada 1931, telah digunakan sangat luas untuk analisis organik dan biokimia. Pada umumnya sebagai isi kolom adalah silika gel atau alumina, yang mempunyai angka banding luas permukaan terhadap volume sangat besar. Sayangnya hanya ada beberapa bahan penyerap, maka pemilihannya sangat terbatas. Keterbatasan yang lebih nyata pada kenyataan bahwa koefisien distribusi untuk serapan kerap kali tergantung pada kadar total. Hal ini akan menyebabkan pemisahan tidak sempurna. Kromatografi cairan-cairan atau kromatografi partisi, dikenalkan oleh Martin dan Synge pada 1941, dan kemudian mendapatkan hadiah Nobel untuk itu. Fasa diam terdiri atas lapisan tipis cairan yang melapisi permukaan dari padatan inert yang berpori-pori. Ada banyak macam kombinasi cairan yang dapat digunakan sehingga metode ini sangat berguna. Lebih lanjut, koefisien distribusi sistem ini lebih tidak tergantung pada kadar, memberikan pemishan yang lebih tajam.
Kromatografi gas-padat, digunakan sebelum tahun 1800 untuk memurnikan gas. Pada waktu dulu teknik ini tidak berkembang karena keterbatasannya yang sama seperti halnya kromatografi cairan-padat, tetapi penelitian lebih lanjut dengan macam fasa padat baru memperluas penggunaan teknik ini.Kromatografi gas-cairan merupakan metoda pemisahan yang sangat efisien dan serba guna. Teknik ini telah menyebabkan revolusi dalam kimia Organik sejak dikenalkan pertama kali oleh James dan martin pada 1052. Hambatan yang paling utama adalah bahan cuplikan harus mempunyai tekanan uap paling tidak beberapa torr pada suhu kolom. Sistem ini sangat baik sehingga dapat dikatakan sebagai metoda pilihan dalam kromatografi karena dapat memisahkan dengan cepat dan peka ( Sudjadi, 1986 ).
Berikut ini merupakan jenis kromatografi yang sering digunakan untuk memisahkan senyawa bahan alam, yaitu :
2.3.3.1. Kromatografi Lapisan Tipis
Teknik ini dikembangkan tahun 1939 oleh Ismailoff dan Schraiber. Adsorbent dilapiskan pada lempeng kaca yang bertindak sebagai penunjang fasa diam. Fasa bergerak akan merayap sepanjang fasa diam dan terbentuklah kromatogram. Biasanya yang sering digunakan sebagai materi pelapisnya adalah silika gel, tetapi kadang kala bubuk selulosa dan tanah diatom, kieselguhr dapat juga digunakan. Pemilihan sistem pelarut dan komposisi lapisan tipis ditentukan oleh prinsip kromatografi yang akan digunakan. Sampel diteteskan pada salah satu bagian tepi plat kromatografi (sebanyak 0,01 - 10ƒÊg zat). Zat-zat bewarna dapat terlihat langsung, tetapi dapat juga digunakan reagen penyemprot untuk melihat bercak suatu noda. Untuk menempatkan posisi suatu zat, reagen dapat juga disemprotkan pada bagian tepi saja. Bagian yang lain dapat diperoleh kembali tanpa pengotoran dari reagen dengan pengerokan setelah pemisahan selesai. Aplikasi KLT sangatlah luas. Senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap serta terlalu labil untuk kromatografi cair dapat dianalisis dengan KLT ( Khopkar, 1990 ).
Pelarut-pelarut
Pemilihan pertama dari pelarut ialah bagaimana sifat kelarutannya. Tetapi sering lebih baik untuk memilih suatu pelarut yang tak tergantung daripada kekuatan elusi sehingga zat-zat elusi yang lebih kuat dapat dicoba. Yang dimaksud dengan kekuatan dari zat elusi adalah daya penyerapan pada penyerap dalam kolom. Biasanya untuk penyerap-penyerap yang polar seperti alumina dan silika gel, maka kekuatan penyerap naik dengan kenaikan polaritas dari zat yang diserap. Menurut TRAPPE, kekuatan elusi dari dari deret-deret pelarut untuk senyawa-senyawa dalam kolom dengan menggunakan silika gel akan diturunkan dalam urutan sebagai berikut : air murni <>
Sedangkan seperti kalsium karbonat dan kalsium hidroksida, mempunyai permukaan spesifik yang mempunyai ukuran dalam puluhan meter persegi atau kurang sehingga mereka dikategorikan relatif tak aktif. Pada keadaan lain, pengertian haktifitash sering digunakan untuk menyatakan kekuatan dari serapan dan ini yang biasa digunakan dalam kromatografi. Aktifitas kromatografi adalah spesifik yang mempunyai pengertian zat padat dengan luas permukaan yang besar menyerap dengan kuat. Telah diketahui bahwa kekuatan serapan dari gugus polar pada senyawa-senyawa polar naik dalam urutan yaitu: -COOR, = C = 0, -NH2, -OH, -COOH. Banyak penyerap seperti alumina, silika gel, karbon aktif, dan magnesium silikat dapat diperoleh dalam perdagangan. Mereka sering memerlukan aktivasi sebelum dipakai; hal ini dapat dikerjakan dengan pemanasan, mungkin dengan pengurangan tekanan. Suhu optimum untuk aktivasi aluminium biasanya sekitar 400oC dan waktu pemanasan cukup selama 4 jam. Untuk kebanyakan zat-zat padat, dengan tak ada keterangan lebih lanjut pemanasan pada suhu 200oC selama 2 jam. Zat-zat aktif yang digunakan sebagai penyerap dalam kromatografi kolom merupakan katalisator yang baik; ini merupakan bahaya yang perlu mendapat perhatian. Alumina, terutama bila bersifat alkali, sering menyebabkan perubahan kimia dan menimbulkan reaksi-reaksi; misalnya, ia dapat menyebabkan kondensasi dari aldehida-aldehida dan keton-keton, hingga bila hal ini terjadi, maka harus menggunakan alumina yang bersifat netral. Silika gel dapat menyebabkan isomerisasi dari berbagai senyawa-senyawa seperti terpena dan sterol ( Sastrohamidjojo, 1996)
2.3.3.2. Kromatografi Kolom
Kromatografi cair yang dilakukan dalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam, atau bahkan tabung plastik. Pelarut atau fasa gerak dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda memisah, dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom. Ada empat perubahan utama yang dilakukan pada cara kolom klasik. Pertama dipakai penyerap yang lebih halus dengan kisaran ukuran mesh lebih sempit, agar tercipta kesetimbangan yang lebih baik di dalam sistem. Kedua sistem tekanan biasanya pompa mekanis, dipakai untuk mendorong pelarut melalui penyerap yang halus. Ini perlu karena ukuran partikel kecil, tetapi pompa itu juga menyebabkan kromatografi lebih cepat, jadi memperkecil difusi. Ketiga detektor telah dikembangkan sehingga diperoleh analisis senyawa yang bersinambungan ketika senyawa itu keluar dari kolom. Data analisi ini dapat dipakai untuk membagi-bagi fraksi ketika keluar, dan jika diperlakukan dengan tepat, dapat memberikan data kuantitatif mengenai banyaknya senyawa yang ada. Akhirnya penyerap baru dan cara pengemasan kolom baru dikembangkan sehingga memungkinkan derajat daya pisah yang tinggi tercapai. Ukuran keseluruhan kolom sungguh beragam, tetapi biasanya panjangnya sekurang-kurangnya sepuluh kali garis tengah dalamnya dan mungkin saja sampai 100 kalinya. Nisbah panjang terhadap lebar sebagian besar ditentukan oleh mudah atau sukarnya pemisahan, nisbah lebih besar untuk pemisahan yang lebih sukar. Ukuran kolom dan banyaknya penyerap yang dipakai ditentukan oleh bobot campuran linarut yang akan dipindahkan ( Gritter, 1991 ).
2.4. Teknik Spektroskopi
Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis kimia-fisika yang mengamati tentang interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik.
Ada dua macam instrumen pada teknik spektroskopi yaitu spektrometer dan spektrofotometer. Instrumen yang memakai monokromator celah tetap pada bidang fokus disebut sebagai spektrometer. Apabila spektrometer tersebut dilengkapi dengan detektor yang bersifat fotoelektrik maka disebut spektrofotometer ( Muldja, 1955 ). Informasi Spektroskopi Inframerah menunjukkan tipe-tipe dari adanya gugus fungsi dalam satu molekul, Resonansi Magnet Inti yang memberikan informasi tentang bilangan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Ini juga memberikan informasi yang menyatakan tentang alam serta lingkungan dari setiap tipe dari atom hidrogen. Kombinasinya dan data yang ada kadang-kadang menentukan struktur yang lengkap dari molekul yang tidak diketahui ( Pavia, 1979 ).
2.4.1. Spektrofotometri Infra Merah ( Fourier Transform - Infra Red )
Spektrum infra merah suatu molekul adalah hasil transisi antara tingkat energi getaran yang berlainan. Pancaran infra merah yang kerapannya kurang dari 100 cm -1 (panjang gelombang lebih daripada 100 ƒÊm) diserap oleh sebuah molekul organik dan diubah menjadi putaran energi molekul. Penyerapan ini tercantum, namun spektrum getaran terlihat bukan sebagai garis.garis melainkan berupa pita.pita. Hal ini disebabkan perubahan energi getaran tunggal selalu disertai sejumlah perubahan energi putaran ( Silverstein, 1984 ).Vibrasi molekul dapat dibagi dalam dua golongan yaitu vibrasi regang (stretching) dan vibrasi lentur (bending vibrations).
1. Vibrasi Regang
Terjadi perubahan jarak antara dua atom dalam suatu molekul secara terus-menerus. Vibrasi regang ada dua macam, yakni vibrasi regang simetris dan tak simetris.
2. Vibrasi Lentur
Terjadi perubahan sudut antara dua ikatan kimia. Ada dua macam vibrasi lentur yaitu vibrasi lentur dalam bidang (scissoring dan rocking) dan vibrasi luar bidang (waging dan twisting) ( Noerdin, 1985 ). Hanya getaran yang menghasilkan perubahan momen dwikutub secara berirama saja yang teramati di dalam infra merah. Medan listrik yang berganti-ganti, yang dihasilkan oleh perubahan penyebaran muatan yang menyertai getaran menjodohkan getaran molekul dengan medan listrik pancaran elektromagnet yang berayun ( Silverstain, 1986 ).
2.4.2. Spektrofotometri Resonansi Magnetik Inti Proton ( 1H-NMR )
Spektrometri Resonansi Magnetik Inti (Nuclear Magnetic Resonance, NMR) merupakan alat yang berguna pada penentuan struktur molekul organik. Teknik ini memberikan informasi mengenai berbagai jenis atom hidrogen dalam molekul. Struktur NMR memberikan informasi mengenai lingkungan kimia atom hidrogen, jumlah atom hidrogen dalam setiap lingkungan dan struktur gugusan yang berdekatan dengan setiap atom hidrogen ( Cresswell, 1982 ). Pergeseran kimia adalah pengukuran medan dalam keadaan bebas. Semua proton-proton dalam satu molekul yang ada dalam lingkungan kimia yang serupa kadang-kadang menunjukkan pergeseran kimia yang sama. Setiap senyawa memberikan penaikan menjadi puncak absorpsi tunggal dalam spektrum NMR ( Bernasconi, 1995 ).
Spektrum NMR dari amina sangat beragam, sama seperti NMR yang ditunjukkan pada alkohol. Serapan N-H dari sebuah amina alifatik berada pada ƒÂ 0,5 sampai 3 ppm, sedangkan serapan amina aromatik berada pada ƒÂ 3,0 sampai 5,0 ppm. Sebagai hasil dari adanya ikatan hidrogen pada amina sekunder ataupun amina primer maka pergeseran kimia dari proton N-H bervariasi, dimana pergeseran kimia ini tergantung pada pelarut, konsentrasi dan temperaturnya. Hal ini hampir serupa dengan alkohol. Sama juga dengan alkohol, amina juga mungkin dapat dibedakan proton dari N-H dengan menggunakan deuterium yaitu D2O. Serapan proton dari N-H juga dapat dengan mudah diketahui dengan mencocokkan dengan pertukaran isotopnya dengan kontaminan yang mendekati peak dari HOD dengan pertukarannya menggunakan air ( Alan, 1981 ). Beberapa keuntungan dari pemakaian standar internal TMS yaitu : 1. TMS mempunyai 12 proton yang setara sehingga akan memberikan spektrum puncak tunggal yang kuat.
TMS merupakan cairan yang mudah menguap, dapat ditambahkan ke dalam larutan sampel dalam pelarut CDCl3 atau CCl4. Boleh dikatakan semua senyawa organik memberikan resonansi bawah medan terhadap TMS. Hal ini disebabkan Si lebih bersifat elektro positif dibandingkan atom C. TMS sendiri dari segi kimia bersifat lembam, tidak bercampur dengan H2O ataupun air berat ( Muldja, 1955 ).