"Tombol Move on Sulit Ditekan"

Tepat hari ini, 25 Oktober, peristiwa itu menimpa keluarga kami. Sehari sebelumnya suasana mencekam karena ada yang mati dikeroyok. Menurut penuturan mas buntil, yang jualan nasi goreng depan toko sebelah TKP, "Ada Orang dikeroyok, tapi kurang tahu siapa, dia mati seketika, mungkin dia melakukan suatu kesalahan". Tetapi menurut saksi yang lain berbeda. Menurut pak Siong yang pakai kaca mata, "Orangnya tidak bersalah, memang dia punya ikatan darah dengan tokoh yang dianggap 'kiri' itu. Sedangkan dia baru sampai tiga hari yang lalu dari tanah rantau, kuliah". Beliau melanjutkan, "coba lihat pakainnya, beda kan!". Itulah sepenggal cerita yang termuat di koran desa.

Kami pun ikut ketakutan jika sewaktu-waktu orang yang masih masih punya dendam itu ke sini. Identitasnya mereka tidak jelas. Tidak ada bekas yang tersisa alias kelas kakap. Semua akses masuk ke rumah kami tutup baik gerbang utama, pintu depan dan jendela. Bahkan ventilasi juga tertutup meski tidak rapat.

Malam itu, kami sekeluarga kumpul di ruang tengah sambil nonton tv. Adik yang awalnya nonton kartun disuruh pindahkan ke chanel yang lain oleh ibu, syukur kalau berita kejadian itu ditayangkan. Karena penasaran ibu, citra dan kiyek berbincang-bincang sedang yang lain fokus megang Hp. Berikut obrolannya:

Citra: ibu kok takut sih, padahal kan orang yang jadi dalangnya itu sudah berlari jauh, entah kemana
Ibu: iya takut nak, kalau terjadi apa-apa dengan kita bagaimana, hayo!
Citra: iya bu, tadi kan sudah ditutup semua. Untung-untung masih di sisakan lubang angin buat nafas
Ibu: iya sih, yang penting sudah sedikit aman
Kiyek: lagian yang buat ibu ketakutan kan bukan orang itu, tapi kekhawatiran ibu saja yang berlebihan
(Tiba-tiba bapak angkat bicara)
Bapak: bagaimana nasib keluarganya yang lain ya?
Citra: iya pak, kasihan mereka padahal pada saat peristiwa masa lalu itu, keluarganya tidak ikutan
Ibu: semoga nasibnya baik-baik saja, tidak seperti orang yang kemarin
Bapak: keberadaan mereka pun antah berantah, ada yang mengganti identitasnya, ada yang pergi ke tanah seberang, ada yang sengaja diam, ada yang masih di negeri ini, tapi entah dimana kita tidak tahu.
Adik: kak, ambilin minum dong, haus nih, yang di kulkas ya
Citra: iya sebentar dek
Bapak: padahal orang yang bersalah masih belum diadili sampai detik ini dan kasusnya masih dibiarkan mengambang. Keluarga korban juga masih trauma.
Kiyek: seharusnya kan harus dihukum pak, keluarga korban harus diberi kepastian dan jaminan keamanan, kebebasan dan kesejahateraan seperti yang lainnya.
Adik: Bu, dipindah ya, tv-nya ramai bu
Ibu: biarin dulu dek, ibu masih nunggu beritanya
Adik: iya dah adik di kamar saja (wajah kesel)
Bapak: Baca bukunya sebentar dek, jangan lupa berdoa sebelum tidur
(Tanpa menjawab anak itu beranjak ke kamarnya, dia buka bukunya sambil berkata, "Ibu kok senang liat keributan di tv itu, padahal kartunnya lagi seru")
Kiyek: Dia kok dikeroyok seperti itu Pak, apakah dia benar-benar terlibat peristiwa yang dulu itu?
Bapak: dia kan baru anak kemarin, umurnya masih muda, masak bisa terlibat. Atas dasar apa dia dipersalahkan, tidak ada kan!
Kiyek: bisa jadi dia keturunan yang terlibat itu pak
Bapak: masak mau menghakimi orang yang tidak tahu apa-apa, kan lucu
Citra: terus kita sebagai generasi sekarang harus bagaimana pak?
Bapak: kita harus berani meluruskan sejarah, menjelaskan dengan cara yang baik, jujur dan tepat, memaafkan, mengadili yanh bersalah, bersikap adil, memperbaiki diri sendiri, mengembalikan hak korban, jangan sampai mengulangi hal yang sama untuk kemudian hari, menjadikan masa lalu sebagai pelajaran serta mempersiapkan masa depan
Kiyek: tapi sampai kapan pak?
Bapak: sampai kita semua berani melakukannya untuk diri kita, orang lain dan negeri ini
Ibu: ibu khawatir kalau suatu saat itu terjadi lagi, kayak yang barusan diberitakan itu, banyak yang arogan
Citra: sudahlah bu, ibu khawatirnya kayak orang phobia saja
Kiyek: kalau masih ada yang merasa paling benar, sentimen dan fanatik, bakal terjadi lagi bu. Ya semoga saja tidak bu.
Ibu: ya sudah, ibu masak dulu
Citra: ayo bu, saya bantu biar lebih cepat
(Perut bapak tiba-tiba bernyanyi seperti suara perlawanan melawan penindasan dan ketidakadilan)
Kiyek: iya bu, lapar banget seolah-olah mengangkat beban berat yang dipikul korban dan negeri ini

Waktu berjalan tanpa henti, hanya jarum jam di dinding yang tetap pada posisinya, karena kehabisan energi. Seketika suasana hening tanpa suara, yang ada hanya suara angin yang menabrak genteng, air akuarium yan berputar tiada henti dan televisi yang masih suka bicara sendiri.

Beberapa menit kemudian peristiwa semalam disiarkan di tivi lokal. Bapak dan kiyek segera mengalihkan perhatiannya ke tivi. Keduanya seperti patung besar yang tidak bergerak meski angin menyentuhnya. Telinga dan mata mereka fokus dengan apa yang diberitakan.

Ibu dan citra menghidangkan makan malam bagai lomba lari marathon. Karena tidak mau ketinggalan, seperti menu wajib yang tidak boleh terlewatkan. Walaupun semuanya sudah siap menyantap sajian yang telah dimasak, namun mereka masih diam seribu bahasa. Media tivi mengarahkan dan mengalahkan lapar mereka.

Ketika berita usai, Kiyek tiba-tiba mengatakan, "Beritanya kok berat sebelah ya? Barusan saya media lain, faktanya tidak seperti itu". Sembari menaruh nasi dari bakul ke piringnya, dia masih berujar, "masak beda media, beda faktanya". Bapak menimbali perkataan anaknya, "makan dulu, Nak, nanti selesai makan bisa dilanjutkan". Dia pun menanggapi hanya dengan anggukan kepala seperlunya.

Setelah makan, semuanya berkumpul kembali di depan tivi. Kali ini mereka seperti sibuk sendiri: ibu merapikan pakaian, citra mengerjakan tugas kuliah, bapak memasang lukisan di dinding, adik tidur pulas dan kiyek baca buku. Suasana ini terjadi hampir setiap malam sampai mereka undur diri satu persatu.

Kiyek yang sibuk bercengkrama dengan bukunya berhenti di sebuah halaman. Wajahnya seperti keheranan sambil membandingkan dengan 5 buku yang isinya tentang peristiwa yang sama, namun fakta dan data yang disampaikan berbeda. Awalnya dia berpikir kejanggalan ini didasari sudut pandang yang berbeda. Namun ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan.

Keesokan harinya, kakak tersebut bergegas untuk mencari referensi tambahan ke perpustakaan. Di sana dia menemukan 5 buah buku yang dikarang oleh orang yang pernah bersinggungan dan terlibat dalam peristiwa tersebut. Wajahnya sumringah kegirangan bagai menerima hadiah nobel disiplin ilmu tertentu. Sedangkan yang lain masih bersiap-siap untuk berangkat ketika wajahnya seperti itu.

Dia duduk di kursi pojok yang telah tersedia bagi pembaca. Kemudian dia mengeluarkan pena berwarna dari tasnya untuk menandai bagian yang penting baginya. Cara bacanya sedikit berbeda tidak seperti kemarin malam. Pada bagian tertentu dia membaca pelan, cermat dan hati-hati seolah berjalan di atas jembatan gantung di atas sungai sebelah desanya, yang dilalui oleh pelajar waktu ke sekolah. Karena memang hanya jembatan itu akses terdekat bagi mereka, meskipun kondisinya memperihatinkan.

Setelah memperoleh catatan uang diharapkan, dia kemudian pulang membawa beberapa buku dan jurnal tambahan untuk meyakinkan dirinya tentang peristiwa kelam masa lalu. Sesampainya di rumah mereka kembali berkumpul seperti biasa.

Malam ini seperti tidak ada yang beda, meski kejadian kemarin belum usai jadi perbincangan warga. Sebagian warga menyesalkan pengroyokan itu, yang lain masih ada yang bertanya-tanya, ada yang tidak peduli karena bukan sanak familinya dan ada juga yang berjuang melaporkan ke pihak yang berwenang. Pihak yang berusaha mencari keadilan tentunya dari keluarga yang bersangkutan dan yang merasa prihatin.

Hingga larut malam, orang-orang masih sibuk diskusikan peristiwa naas itu. Mereka larut bersama malam yang tampak lengang. Suaranya tambah lantang saat jumlahnya semakin banyak. Persis seperti kerumunan orang di pasar yang menjajakan barang dagangannya. Mereka tanpa sadar membuka ruang cerita hingga menyebar ke mana-mana.

Tetapi kakak itu tidak peduli kepada mereka, seolah seorang arkeolog yang mendapati tumpukan tanah menjadi data sejarah. Dia terus berkutat dengan lembaran yang bacanya. Terkadang wajahnya sedih kala membayangkan nasib korban yang mengalami tekanan dan kekerasan. Wajahnya tampak geram ketika memikirkan dalang dan orang yang sebenarnya bersalah, namun masih berkeliaran dan menggerogoti dari dalam. Pernah suatu waktu, wajahnya penuh harap dengan penyelesaian peristiwa itu dan gambaran di masa depan yang lebih baik.

Peristiwa itu telah berlalu namun masih terasa. Ketika hari ini tiba, banyak orang yang mengenangnya dengan tabur bunga, aksi turun jalan, nyalakan lilin, forum diskusi atau kajian, pendampingan terhadap korban, rekonsiliasi, pencarian fakta, dan lain-lain. Namun semuanya kembali kepada diri masing-masing. Apakah akan terus membiarkan tombol 'move on' yang ada hilang begitu saja atau sulit untuk ditekan? Ataukah berani dan rela menyelesaikannya untuk kebaikan masa depan? Kita tunggu saja akhir ceritanya.