Baru bangun saja televisi sudah menyodorkan hidangan seperti ini. Kemudian datang lagi berita tentang gelagat partai politik dalam menentukan calon pilihan yang diusung dalam pentas pemilu. Dalam rangkaian gelar demokrasi ini, seringkali diikuti oleh bumbu-bumbu lain yakni isu SARA. Bumbu yang tidak pernah terlewatkan dalam setiap perhelatan demokrasi.
Bayang-bayang berita tersebut menimbulkan pertanyaan yang datang bertubi-tubi. Apakah ini permainan politik? Ataukah hanya sandiwara dalam teater? apakah politik memang seperti teater? Ataukah teater merupakan bagian dari politik? Aktornya apakah sama atau tidak?
Dunia politik dan teater adalah dua hal yang berbeda. Namun dari keduanya memiliki kemiripan terutama terkait publik atau penonton. Penonton bisa berlaku aktif atau pasif, bisa dilihat dari keterlibatan ataupun pengaruhnya.
Dalam dunia teater, apa yang tampak di panggung adalah seni peran atau tontonan, sedangkan di panggung politik, apa yang terlihat di panggung adalah yang dianggap mewakili lakon "sesungguhnya" yang dimiliki sang aktor. Akhirnya publik bebas memahami dan menafsirkan lakon yang sedang, telah terjadi atau bahkan terjadi.
Aktor dalam pertunjukan teater terbentuk oleh latihan yang rutin dan menerus, sehingga mampu mendalami atau menjiwai lakon yang diperankan. Namun dalam politik, aktor bisa muncul dalam waktu yang singkat tergantung kendaraan politik, manuver, ikatan kedekatan, bahkan mahar yang mampu dikeluarkan. Kendati demikian, Aktor di dunia yang berbeda ini masih bergantung pada publik (objek) yang dituju.
Suara aktor bisa terdengar, terasa bahkan mampu mempengaruhi telinga dan pandangan khalayak ramai melalui polesan media. Media berhak memilah-milih lantas mengudarakan bagian mana yang sesuai dengan mereka, meski tanpa menghiraukan siapa penerima pesan yang disampaikan. Oleh sebab itu, aktor yang tampil boleh jadi merupakan aktor 'fiktif' yang dihadirkan oleh media, bukan pilihan sadar masyarakat luas.
Aktor yang dekat dengan media akan memiliki peluang yang lebih banyak untuk di publish dibandingkan yang tidak memiliki hubungan. Walaupun dia kurang kompeten, tidak berdedikasi, elektabilitas rendah, pendatang baru atau orang titipan. Sehingga seringkali yang terjadi adalah aktor yang layak akan tereliminasi dengan sendirinya. Sedangkan yang tidak atau kurang layak malah langgeng di wajah media.
Parodi politik bukanlah ladang yang kejam tetapi itulah yang terjadi, dipertontonkan secara bebas dan lugas, karena memang dianggap biasa. Meskipun ada pihak koalisi, oposisi dan kelompok yang tidak peduli namun kepentingan yang digulirkan atau dimainkan adalah sesuatu yang pasti. Pasti diraih atau beralih, dikejar mati-matian atau asal-asalan, menambah lawan atau kawan, bertukar pilihan atau berebut bagian.
Kedua panggung tersebut menampilkan ekspresi wajah, gesture dan ritma yang berbeda di setiap pertunjukannya. Aktor dalam teater setelah pementasan akan menanggalkan perannya dan kembali ke diri semula, sedangkan aktor politik cenderung memakai perannya secara terus menerus agar dipandang pantas hingga pentas politik usai. Namun bukan berarti dilarang untuk belajar seni peran, melainkan aktor harus menyadari dirinya, otentik.
Di sisi lain, publik harus sadar akan haknya dalam menilai, menimbang dan menentukan pilihannya. Tanpa ada unsur paksaan dari pihak luar, keadaan yang dibuat-buat dan regulasi yang berat sebelah. Publik juga ikut berperan mengawasi jalannya proses demokrasi.
Tidak kalah penting yakni pihak pembuat regulasi, pelaksana dan pengawas. Jangan sampai pihak tersebut ditunggangi oleh 'remote' tertentu. Karena pihak inilah yang memastikan jalannya proses demokrasi yang jujur, bersih, adil, bebas dan terbuka.
Pihak lain yang juga berperan adalah tim sukses. Tim yang dibentuk oleh pihak tertentu, dengan menyiapkan taktik dan strategi pemenangan baik di level bawah sampai atas. Panggung akan terlihat seperti medan perang dalam seni perang Sun Tzu. Siapapun yang keluar sebagai juara harus saling mendukung, menghargai dan merelakan.
Akan tetapi, Jika sedari awal sudah ada yang bermain kotor dan licik, maka akan mengganggu dan menimbulkan konflik baik horisontal maupun vertikal selama dan sesudah perhelatan demokrasi. Namun jika dengan cara yang baik dan tidak melanggar aturan maka prosesnya akan lancar, aman, dan damai.
Akhirnya, panggung politik dan teater adalah panggung sementara. Panggung yang bertahan dalam kurun waktu tertentu. Namun yang terpenting adalah panggung dan aksesorisnya harus mampu menjawab harapan masyarakat, cita-cita luhur, tujuan bersama, kepentingan dan kemakmuran rakyat. Seperti jargon yang sering disuarakan: dari, oleh dan untuk rakyat.