Gelar tersebut terdiri dari gelar fisik, gelar intelektual (studi), gelar kerja, gelar usaha, gelar karya, gelar tokoh, dan banyak lagi. Gelar ini menempel pada nama, pakaian, benda dan diri setiap orang. Sehingga menjadi pengenal, pembeda, penegas bahkan penentu status (strata) atau nasib orang tersebut.
Sebagian contoh yang bisa penulis sebutkan, misalnya gelar sarjana S1 sains ditempeli S.Si (S.Sc) di belakang namanya, gelar pahlawan bagi tokoh yang berjasa atau ditokohkan oleh sekelompok orang (baca : negara) di wilayah tertentu disematkan pada orangnya, yang berbadan gemuk diberi sebutan 'gentong' dan sebagainya. Dalam memperoleh gelar tersebut bisa langsung (tanpa usaha) dan ada yang membutuhkan kerja keras, kreatifitas, kesabaran dan proses yang lama.
Kadangkala gelar yang telah disematkan kepada seseorang akan merubah atau mempengaruhi orang tersebut. Ada yang biasa-biasa saja, ada yang merasa menjadi beban, ada yang semakin giat berusaha, ada yang merasa berkewajiban seperti gelar yang didapatkan, ada santai dan tidak peduli, ada yang kian rendah hati, ada yang bangga luar biasa dan ada juga orang yang enggan diberi gelar.
Ketika penulis memiliki sederetan gelar di depan dan di belakang namanya, maka saat itu terjadi dua hal yaitu bangga tiada tara atau semakin rendah hati. Kala bangga yang menjadi-jadi, dunia seperti milik sendiri sedang yang lain sekedar numpang, hilangnya kontrol diri dan puncaknya lupa diri. Namun saat rendah hati yang disemai, maka rasa syukur akan bertambah, tidak takabbur dan angkuh. Kita tinggal memilih terlena oleh rasa bangga atau rela menerima dengan penuh kerendahan hati.
Tiba-tiba suara ibu itu terdengar lirih, "Nak, bangun, hujan sebentar lagi turun, awan mulai mendung". Anak itu menyahut, "Sebentar, masih ngantuk bu". Ibu itu hanya tersenyum melihat anaknya yang sedang terbaring di pangkuannya. Hati ibunya tenang seolah urusan dapur rumah tangganya menghilang.
Waktu kian berlalu, tidurnya pun semakin pulas seperti sedang dihipnotis. Ibunya tertidur juga dengan bersandar pada tembok di belakangnya. Agar Anak ini tidak terbangun. Anak polos ini merangkai kembali mimpi-minpi yang tadi telah dilalui menjadi satu sesi. Berikut rangkaian ceritanya:
Wulan: Cit, kamu enak ya punya gelar banyak, dari A sampai Z
Citra: nggak enak Lan, dianggap bisa semua sama orang-orang
Boneng: iya Cit, kan bisa ngibulin orang pakai gelar itu, heheheh
Holler: ah elu neng bisanya ngomong doang
Bokar: lho gelar itu apa sih? (Muka bingung sambil garuk-garuk kepala)
Bojek: ah kalian belum tahu sih, kakakku gelarnya lebih banyak daripada Citra, berjejer pulau-pulau...hahaahah
Holler: kayak latihan baris berbaris saja (nada ketus)
Bokar: gelar itu seperti gadis ya, dari tadi kalian rebutkan terus
Bokar: pasti bohay ya, mulus seperti gitar spanyol
(Mereka serentak terdiam kala pak satpam dan ketua RT patroli, sembari menyeruput kopi dan menyantap gorenganb di piring batik)
Pak Bejo (pak RT): permisi
Semua: silahkan, hati-hati Pak
Bokar: Pak numpang tanya, gelar itu apa sih? (Wajah bingung)
Bojek: ah elu kampungan banget
Pak RT: begini lo, gelar itu capaian atau sandangan yang kita peroleh sendiri atau diberikan orang lain, macamnya juga banyak...
Pak RT: saya pamit dulu ya, mau patroli dulu, selamat malam
(Keduanya beranjak menjauhi mereka sambil timbal balik nyebut masalah warganya satu persatu)
Holler: tuh kan sudah saya bilang, pak RT saja sok tahu, gelagatnya saja yang sok hebat
Bojek: iya, ya, tapi kalau tidak hebat kok bisa dapat gelar Pak RT yang budiman
Holler: siapa tahu..iya mungkin ada yang disembunyikan dari kita, warganya
Wulan: kalian ini ribut terus, bukannya semangat meraih gelar seperti Citra, malah ribut tidak karuan, ngomongin orang pula
(Pipi Citra merah merona, tubuhnya seperti tak lagi menginjak bumi, mengawang-awang bersama hembusan angin)
Boneng: kamu juga sama Lan, sudah tahu mereka ribut, kok nambah ramai
Citra: gelar saya banyak, coba lihat di kartu identitas saya, tetapi saya memang tidak mau pamer
Obrolan mereka lenyap seketika, saat ibu tersebut membangunkan anaknya untuk beranjak sholat. Dari balik jendela terdengar suara kokok ayam yang bertengker di dahan kian membesar. Surau dan masjid berlomba-lomba mengumandangkan adzan dengan pengeras suara. Seruan itu memekik udara dengan frekuensi tertentu, kemudian menyusup melalui celah angin sampai akhirnya didengar telinga.
Anak itu pun terbangun meski matanya enggan terbuka. Dia hanya bisa duduk merenggangkan kakinya, sedangkan ibunya siap-siap ke surau bersama keluarga yang lain. Setelah membuka mata, dia pun bingung seribu bahasa, menoleh ke kiri dan kanan penuh keheranan,
"ke mana anak-anak tadi ya? Padahal saya mau bertanya juga", gumamnya.
Semakin lama dia semakin heran bagaikan orang sedang mabuk kepayang,
"Apakah saya tadi bermimpi ya? Tapi kok seperti nyata" ujarnya.
Dia berdiri lalu berlari tergopoh-gopoh lantas mengecek pos ronda di deket rumahnya. Di sana dia mendapati sisa minum dan piring kosong dengan minyak di permukaanya. Ada bekas sepatu boat juga.
"Lho, ini kan bekas orang-orang yang di dalam mimpiku barusan, apakah ini benar-benar terjadi? Masak aku bermimpi?", katanya,
Anak itu pun duduk di pos ronda sambil merenungi apa yang sedang terjadi. Jari jemarinya merenggut setiap helai rambutnya hingga tampak seperti pejabat yang baru masuk rumah sakit jiwa (akronim, RSJ), karena kalah dalam pemilu bulan lalu - banyak uang pelicin yang digelontorkan dan terlalu sering berjabat tangan untuk menyulap suara.
Ia mondar mandir menanti ada orang lewat seperti dalam mimpinya. Waktu pun berjalan tidak berhenti. Akhirnya dia berangkat ke surau untuk beribadah walau sudah tidak bisa berjamaah. Orang-orang turun dari surau sedang dia baru melepas sandalnya. Di kamar mandi, kepalanya diguyur derasnya air keran, dilanjut berwudhu dengan pelan-pelan dan sholat. Akhirnya Ia menjadi orang terakhir yang sholat di sana.
"Aku kok bingung gelar-gelar yang dibicarakan anak-anak itu, padahal tanpa bergelar pun aku tetap bisa bermimpi punya gelar",ujarnya
"Ah, sudahlah, hidup sederhana saja kan tidak apa-apa",tambahnya
Namun kok ada yang bilang, "bermimpilah setinggi langit", padahal saya yang mimpi seperti ini saja sudah kayak orang gila. Saya sedang tidak waras, kurang mikir keras, atau memang sudah gila. Pikiranku kok bisa kacau ya gara-gara gelar yang belum saya kejar, apalagi mereka yang sudah punya gelar berjejer-jejer. Aneh memang.
Jikalau suatu saat nanti gelar datang kepadaku, aku berharap tidak seperti itu. Gelar boleh jadi mengangkat diri ini, namun semoga kita bisa kembali. Gelar hadir di antara kita, ku hanya berharap tidak akan lupa.