Sore ini hujan turun deras sekali. Sembari menanti reda, jari jemari berjalan mengiringi status orang-orang di media sosial. Ada yang ramai menyambut hari santri, ada yang curhat masalah pribadi, ada yang sibuk menyampaikan nasib wong 'cilik', ada yang pamer agenda safari politik, dan banyak lagi.
Kali ini penulis akan fokus dengan hari santri. Dimana, Santri adalah orang yang menuntut ilmu atau mengenyam pendidikan (proses belajar) khusus dengan berpegang teguh pada nilai-nilai atau ajaran agama (baca : islam) di lingkungan pondok. Pengajarnya adalah seorang kyai, alim ulama atau ustadz yang berkompeten di bidangnya dan memiliki perangai yang luhur. Di beberapa daerah kyai tersebut memiliki sebutan yang berbeda-beda. Kyai-kyai tersebut menjadi teladan, tokoh masyarakat dan sekaligus guru bagi santrinya.
Santri mengaji dan mengkaji berbagai ilmu agama berdasarkan arahan dan bimbingan para kyai. Biasanya proses belajar mengajar dilakukan di 'langgar' atau musholla, aula atau kelas sederhana. Komunikasi antara kyai dan santri terjalin secara terus menerus baik langsung maupun tidak langsung.
Adapun materi yang didalami seputar al-Quran, hadits, kitab-kitab tafsir, akhlak, fikih, syara', dan lain-lain. Ilmu yang dipelajari ini secara tidak langsung membentuk karakter dan perangai para santri. Ditambahi dengan contoh konkret yang diteladankan sang guru, kyai.
Dunia pesantren memiliki aspek internal dan eksternal. Aspek internal meliputi intelektual, spiritual, sosial dan skill. Sedangkan aspek eksternal adalah interaksi dengan dunia luar seperti masyarakat sekitar, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Untuk itu santri yang sedang atau telah menjalani proses 'mondok' senantiasa memegang teguh ilmu yang diperoleh dan menggunakannya untuk kemaslahatan umat.
Kemudian hari mereka dituntut untuk bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi serta perkembangan masyarakat luas. Kehadirannya di tengah-tengah masyarakat bukan menjadi orang yang sok alim, merasa pandai, semena-mena, cepat menyalahkan dan mengkafirkan orang lain. Namun, mereka menjadi sosok yang membaur dan pandai bergaul, menegakkan ajaran agama dengan cara yang baik dan tepat serta menjadi teladan bagi individu yang lain.
Sosok santri identik dengan gaya hidup sederhana: pakai sarung, peci (laki-laki), kerudung (perempuan), kemeja, koko, kitab, makan bersama, gotong royong, dan lain-lain. Karena pada dasarnya ajaran agama (islam) melarang untuk berlebih-lebihan dalam segala hal. Seperti kalimat yang sering kita jumpai, suka seperlunya dan benci sewajarnya.
Seorang santri juga harus mencintai tanah airnya, tradisi (budaya) lokal seperti yang dicontohkan wali songo, berjuang untuk kebaikan dan kebenaran, menerima perbedaan tanpa merusak persaudaraan dan kesetaraan, tidak berhenti belajar dan memengang teguh ilmu yang diperoleh untuk kemaslahatan umat.
Seiring dengan perkembangan zaman, pondok pesantren dan santri harus lebih dinamis tanpa meninggalkan kultur yang ada. Misalnya, kurikulum pondok ditambahi sesuai dengan kebutuhan, kenyataan di lapangan dan tantangan ke depan. Di samping itu, Santri diharapkan bisa memanfaatkan teknologi dan media lain sebagai penunjang dalam meningkatkan skill, wawasan dan pengalamannya. Sehingga tidak keliru memahami teks, terlebih lagi konteks tertentu.
Seperti yang dipertontonkan oleh beberapa kalangan belakangan ini. Mereka mengklaim dirinya yang paling benar dan bertindak arogan. Kecenderungan ini terjadi karena menurunnya semangat belajar, pandangan yang sempit, fanatik, berlebih-lebihan serta keliru dalam menafsirkan dan memahami suatu teks.
"Sarung dan Peci boleh miring asalkan pikiran dan hati jangan sampai kering"