Pakaian kebesaranku dijahit oleh ibu dari urat tangannya. Warnanya yang merah merona dan penuh corak adalah bekas darahnya yang terserap. Baju itu hanya kupakai ketika momen-momen yang menentukan. Mulai dari pekerjaan dinas sampai perjalanan atas nama dinas. Mulai dari tugas ngurusin kantong sampai ngurasin kantor. Mulai dari peletakan batu pertama proyek untuk fasilitas umum sampai pengerukan batu sungai sebagai penghias taman pribadi. Mulai dari kumpul keluarga sampai pesta ria dengan mitra. Mulai dari perumusan regulasi sampai pemulusan reputasi.
Pakaian itu kini telah mengecil. Entah karena aku yang kian membesar atau sebaliknya. Waktu reuni keluarga kubisikkan ke ibu bahwa pakaian kebesaranku sudah tidak muat lagi di tubuhku. Ibu menjawab kalau baju cadangan sudah dibuatkan jauh hari dan nanti diambil usai acara. Ternyata di dalam kresek berwarna hitam itu pesananku dikemas dengan rapi persis seperti kado buat pejabat tinggi. Karena malu dengan pakaian yang sedang kupakai, aku bergegas menggantinya. Pakaian itu tak seperti pakaian kebesaran karena membuatku merasa lebih kecil darinya. Ketika aku kembali ke tengah perjamuan, sebagian besar berdecak kagum. Tetapi jauh di dalam diriku aku merasa sedang dikecilkan. Bahkan dikucilkan. Ibuku hanya tersenyum. Seperti pertama kali melihatku kala melahirkanku.
Tenda Biru, 17-08-2019