Hidup di atas kasur plastik sisa pesta keluarga mapan adalah
hal biasa bagiku. Hidup sebatang kara di tengah rerimbun sampah sudah bukan hal
yang asing bagi diriku. Aku yang telah terbiasa mengais botol, kertas dan
remah-remah yang menumpuk di belakang rumah plat merah itu untuk menukarkannya
dengan sebotol air dan sebungkus nasi. Selebihnya saya peroleh dengan mengambil
bekas makan orang-orang yang ditinggalkan di atas meja kedai pojok.
Saya bukan satu-satunya anak yang mengorek tumpukan itu. Jumlah
kami memang tak sebanyak gunung yang ditimbun orang-orang kota setiap pagi dan
sore hari. Mulai dari anak kecil sampai tua renta baik pria maupun wanita
mengendap melebur sampai tak bisa dikenali. Walau baunya menusuk hidung
menghujam saraf tapi tidak ada yang bernjak menjauhi tempat iru kecuali goni
mereka sudah penuh. Begitu terus dari hari ke hari.